Rabu, 18 Februari 2015

Sampai Kamu Yakin

“Sepertinya aku harus menjauh sejenak dari kamu, Ka. Aku hanya ingin meyakinkan diri aku. Bisa kan kamu gak hubungin aku dulu untuk beberapa saat?”
“Berapa lama, Ci?”
“Selamanya, Ka. Bisa?”

Raka masih tak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Kasih. Perbincangannya dengan Kasih beberapa waktu lalu masih terngiang jelas dalam benak Raka. Ia harus menjauhi Kasih? Untuk sementara mungkin ia bisa, itupun ia ragu. Tapi ini, untuk selamanya? Raka tak yakin ia bisa tanpa Kasih.

***

“Ci, jangan menjauh ya. Aku gak yakin bisa survive tanpa kamu. Aku tahu kamu gak mau nyakitin dia. Tapi....” Raka berhenti sejenak. Mengumpulkan oksigen dalam paru-parunya terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Tapi, apa kamu udah yakin sama dia, Ci?”

Kasih menunduk.
Tangan besar Raka menyentuh kedua pipi Kasih. Hangat.

“Kalau memang kamu masih ragu akan pilihanmu. Aku akan menunggu sampai kamu yakin, Ci” Raka menatap gadis berambut ikal dihadapannya.

“Aku tahu aku salah pernah ninggalin kamu. Tapi, aku sadar. Hanya kamu yang bisa nenangin aku. Cuma kamu, Ci” Raka membawa kedua tangan kasih mendekati bibirnya. Menciumi buku-buku jari Kasih dengan lembut.

“Aku butuh waktu, Ka.” Hanya itu yang mampu terucap dari mulut Kasih.


“Aku tunggu, Ci. Sampai kamu yakin.” Raka tersenyum hangat.

*** 


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com#TiketBaliGratis.

Di Antara


Kasih terbangun dari tidurnya sambil mencari-cari sumber suara yang mengganggu mimpinya.

Rendy’s calling

Tulisan yang tertera di layar ponsel pintarnya tersebut membuat Kasih terlonjak dari kasurnya. Setengah sadar ia menatap kembali layar sentuh ponsel pintarnya yang masih menampilkan nama lelaki yang sudah ia kenal sejak sepuluh tahun yang lalu itu.

Kasih berdeham sejenak sebelum menekan tombol hijau di layar sentuhnya.
“Halo, Dy”
“Bangun, sayang. Udah pagi nih” ucap suara di seberang.
“Baru jam lima di sini” Kasih menatap jam digital di atas meja belajarnya yang menampilkan angka 5:00 itu.
“Ah, Iya. Aku lupa. Maaf, ya, udah ganggu tidur kamu”

***

Hangat genggaman tangan ini. Pelukan ini. Kasih terbelenggu di dalamnya. Debar jantungnya terdengar berirama agak cepat memasuki gendang telinga Kasih. Tangannya yang agak sedikit kasar itu masih membelai lembut rambut ikal Kasih. Mengalirkan sensasi tersendiri dalam pembuluh darah di tubuh Kasih.

“Kamu masih komunikasi sama dia?” seketika Kasih bungkam. Tubuhnya mengejang mendengar pertanyaan lelaki yang irama detak jantungnya masih tak beraturan ini.

“Ci, kamu masih komunikasi sama dia?” ulangnya.
Kasih mengangkat kepalanya dari dada bidang lelaki berkulit cokelat itu. Menatap matanya, dalam. Ada luka di sana. Kasih mengalihkan pandangannya menatap kedua tangannya. Seketika lelaki bertubuh tegap itu membawanya lebih dalam, mendekat ke dadanya, lagi. Memeluknya lebih erat. Kedua mata kasih memanas. Ada yang membendung di sana.

“Aku tahu, kok” lelaki itu membelai lembut rambut Kasih. Membuat pertahanannya runtuh seketika.

***



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Selasa, 17 Februari 2015

Cepet Sembuh Ya, Bu

Hari ini sudah hari ke-empat Ibu gak tidur di rumah, melainkan menginap di kamar berbau khas chlorine itu.
Ibu gak kangen rumah, Bu?

Sejak Ibu dirawat, rumah terasa sepi, hampa, seakan tak ada kehidupan.
Ah, salah Uyun juga sih.
Bukannya menginap saja di ruangan dengan tempat tidur dua itu menemani Ibu, Uyun malah pulang ke rumah.
Kondisi yang membuat Uyun terpaksa pulang ke rumah dan membiarkan Dimas yang menjaga Ibu di sana.

Sepi, Bu.
Tak ada canda tawa Ibu. Pun ketika Uyun berkunjung menemui Ibu di sana.
Kangen cerita-cerita sama Ibu lagi.
Kangen dengerin cerita Ibu tentang kegiatan Ibu seharian. Yang sibuk di kelurahan, yang sibuk pengajian.
Kangen Ibu yang sehat.

Dear, Dokter yang merawat Ibu.
Ibu kapan boleh pulang ke rumah?
Ibu kapan sembuhnya?
Uyun kangen Ibu.

Cepet sembuh ya, Bu.  

Anakmu yang kangen.

Minggu, 15 Februari 2015

Aku Rindu Sehat, Buh

Kepada Yth,
Tubuh yang Membalut Tulang

Hai, sayang. Apa kabar kamu pagi ini? Feel better, kah? Apa mulai sakit-sakitan lagi?

Entah kenapa, setahun kebelakang kemarin ada aja yang kamu keluhkan. Ya demam, lah. Ya flu, lah. Ya macem-macem, lah. Selalu ada keluhan sakit yang muncul dari kamu. Seakan kamu akrab sekali dengan berbagai macam jenis penyakit yang sering menyapamu itu. Atau mereka yang senang bercengkrama denganmu? Sehingga enggan meninggalkanmu seorang diri?

Apa kau tahu, buh? Ketika kau kerap kali dikunjungi teman-teman penyakitmu itu, aku jadinya tak pernah bisa melakukan rutinitas-tiga-bulanan-ku selama 2014 kemarin. Iya, aku jadi gak bisa donor darah. Hal yang biasa aku lakukan jika kamu sehat, buh. Dan kamu tahu? Aku rindu memberikan darahku kepada mereka yang membutuhkan. Aku rindu merasakan sensasi yang muncul setiap jarum dimasukkan ke dalam pembuluh darahku kemudian mengalirkan cairan merah pekat melalui selang bening panjang menuju ke kantong darah yang telah dilabeli golongan darah A dan juga tanggal lahirku. Aku sangat rindu sensasi itu, buh.

Beberapa bulan ini aku selalu gigit jari setiap melihat teman-temanku memamerkan foto-foto mereka saat atau setelah melakukan donor darah. Aku sedih. Bahkan sempat aku menangis saking rindunya aku dengan kegiatan itu. Aku iri melihat mereka mampu memberikan darah mereka untuk disumbangkan, sedangkan aku tidak. Padahal sebelumnya aku selalu berhasil melakukan itu. Aku pun yang mengajak mereka untuk melakukan hal itu.

Dear Tubuhku Tersayang,

Aku hanya bisa berharap tahun ini kamu gak berteman lagi dengan berbagai macam penyakit itu. Aku mau kamu akrab dengan si sehat. Jadinya nanti aku bisa donor darah lagi. Serius, loh, ini aku sudah sangat merindu dengan donor darah. Ia bagai candu yang harus aku lakukan setiap tiga bulan itu.

Janji ya, buh, kamu harus sehat tahun ini. Minimal aku bisa dua kali lagi donor darah dalam setahun. Aku sangat berharap kamu sehat. Dan aku akan berusaha untuk menjagamu agar tetap sehat. Janji ya, buh. Tahun ini kita SEHAT! Aku rindu sehat, buh...


Aku, Pemilik Tubuh yang Membalut Tulang.

Sabtu, 14 Februari 2015

Ini Jawaban Atas Pertanyaanmu

Dear, My Future Husband

“Apa kamu yakin mau nikah sama aku?”

Sepertinya kamu sudah bosan, ya, setiap hari mendengar pertanyaan yang sama keluar dari mulutku. Setiap kita bertemu, selalu itu yang aku tanyakan padamu. Seakan-akan aku tak pernah puas dengan jawabanmu sebelumnya. Padahal aku tahu, jawabanmu memang tidak pernah berubah. Kau selalu menjawab dengan senyuman dan anggukan “Yakin”. Meskipun terkadang kamu mengembalikan pertanyaan ini kepadaku. Dan aku hanya diam seribu bahasa.

Maaf ya, kalau aku selalu mengulang pertanyaan yang sama. Karena sebenarnya pertanyaan ini tidak hanya aku tujukan padamu, tapi juga aku tujukan kepada diriku sendiri.
“Apakah aku yakin mau nikah sama kamu? Jadi istri kamu?”
“Apakah aku bisa jadi istri yang baik untukmu nanti?”
“Apakah aku bisa membahagiakan kamu?”
Dan “Apakah-apakah” lainnya masih berlari-larian mengelilingi kepalaku. Memenuhi rongga kosong dalam tempurung berbalut pasmina ini.

Iya, aku takut. Aku khawatir. Aku cemas…
Aku takut gak bisa jadi istri yang baik untuk kamu.
Aku takut gak bisa bahagiain kamu.
Aku takut kamu akan menyesal karena memilih aku menjadi pendamping hidupmu, kemudian meninggalkan aku.
Iya, aku membayangkan itu semua. Hal yang membuatku takut untuk maju.

Kamu, yang dengan jelinya memperhatikan kekhawatiranku yang berlebihan ini.
Kamu, yang bingung dengan sikapku yang semakin aneh ini.
Kamu, yang akhirnya mempertanyakan semua ketakutanku.
Kamu bilang padaku “Kamu adalah kebahagiaan aku. Jadi, aku udah cukup bahagia kalo kamu mau jadi pendamping hidupku”

Aku bungkam. Lidahku kelu. Tubuhku mengeluarkan sensasi yang tak kuduga saat mendengar kalimat manis itu. Gombal memang, tapi aku tahu kamu tulus mengucapkan itu.

Masih dengan tidak percaya dirinya, akupun mempertanyakan hal-yang-biasanya-dianggap-penting, “Kalau ternyata aku gak bisa punya anak, ga bisa hamil, gimana? Kamu akan ninggalin aku? Kamu akan nikah lagi?”

Dan (lagi-lagi) dengan senyuman, sambil menggenggam tanganku, dan matamu tak lepas menatapku, dalam, kamu berucap “Aku gak masalah meskipun ternyata gak punya anak. Selama aku bisa sama kamu, itu udah cukup buat aku. Udah ya, kamu jangan mikir yang macem-macem lagi” dan berakhir dengan usapan lembut di kepalaku.

Kepada calon imamku,

Sesungguhnya aku belum sepenuhnya yakin akan pilihanku ini. Iya, aku masih tidak percaya dengan diriku sendiri, bisa jadi makmum yang baik untukmu kelak atau tidak? Tapi, aku akan serahkan semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan. Aku pasrahkan kepada Penulis Skenario kehidupanku. Jika memang aku ditakdirkan untuk menjadi makmummu, semua proses ini akan lancar-lancar saja, bukan?


Kepada lelaki yang menunggu jawabanku ini,

Jika memang takdirku untuk menghabisi sisa hidupku bersamamu, hanya satu pintaku. Bimbing aku agar bisa menjadi makmum yang baik untukmu. Itu saja.

Me, your future wife. 

Kamis, 12 Februari 2015

Rindu itu Kamu

Ketika dua hati terpisah jarak dan waktu, terbersitlah rindu.

Rindu berbincang hingga larut malam.
Rindu saling menatap dalam diam.
Rindu bercanda...
Rindu tertawa hingga menangis.
Rindu ....

Itulah yang aku rasakan setiap tak berjumpa denganmu, kasih.
Karena rindu itu kamu

Selasa, 10 Februari 2015

Fabric Round Face Watch

Fabric Round Face Watch: Fabric Round Face Watch by Something Borrowed Collection. This watch with simple design and motif denim which is timeless. So you can wear this watch anytime. With detail polished finish in bezel and metal case, this watch is perfect for your casual look. This watch will make you comfortable when you wear it, because it has synthetic strap.




Find this cool stuff here: http://zocko.it/LJIk4

Senin, 09 Februari 2015

Akankah Jakartaku Bisa Senyaman Dulu Lagi?

Tuhan,

Hari ini Jakartaku terendam banjir di banyak tempat. Barat, Timur, Selatan, Utara, bahkan Pusat juga. Hampir semua wilayah Jakarta terendam air. Entah itu hanya 10 cm kah, 20, 30 bahkan ada yang sudah mencapai 1 meter lebih. Yang paling heboh tentang berita kalau di halaman Istana Negara, yang terletak di Jakarta Pusat ini pun tergenang air. Iya, sebagian besar Jakartaku diselimuti air berwarna cokelat. Ada juga di beberapa titik berwarna kehitaman. Tidak hanya jalan raya yang tergenang air, rumah-rumah penduduk pun mulai ikut dijambangi si air.

Banyak orang yang terjebak macet karena banjir menggenangi hampir seluruh jalanan di Jakarta. Akses ke mana-mana pun susah. Kendaraan bermotor, pejalan kaki, bahkan jalur perkeretaapian pun ikut kena dampak dari hujan tak berkesudahan ini. Yang di jalan terjebak tidak bisa ke mana-mana, yang di kantor pun terancam tidak bisa pulang  karena aksesnya tertutup air yang menggenang tinggi.
Ah, aku jadi teringat dua tahun yang lalu. Kejadian hampir sama dengan hari ini. Hujan tak kunjung reda, sungai meluap membanjiri Jakarta. Tapi, tahun 2013 itu banjir parah di Jakarta Pusat karena tanggul Latuharhari Jebol. Terjebak di tempat kerja, gak bisa pulang karena aksesnya tertutup banjir. Entah di hari yang sama atau beda aku terjebak di Manggarai karena hujan dan banjir menutup rel kereta di stasiun Tebet.    

Banyak yang bilang ini karena air hujan yang tak kunjung reda menjatuhi Jakarta sejak semalam. Dan memang, sejak semalam hingga aku menulis surat ini pun Jakarta masih diguyur hujan. Kadang deras, kadang gerimis. Tapi tak pernah berhenti. Seakan langit sedang bersedih layaknya orang patah hati.

Banyak juga yang menyalahkan pemerintah yang tidak becus mengurusi tata kota, karena setiap tahun Jakarta selalu banjir.

Tapi apakah selalu hujan yang disalahkan?
Apakah pemerintah juga yang harus disalahkan?
Kenapa bukan manusianya yang disalahkan? Diri sendiri.

Yang aku tahu, masih banyak manusia yang hobi buang sampah sembarangan di jalan. Banyak manusia yang mendirikan bangunan di bantaran kali. Banyak manusia yang memangkas pepohonan rimbun yang seharusnya jadi tempat resapan air hujan dan mengubahnya menjadi hutan beton. Banyak pengembang (yang juga terdiri dari manusia-manusia) yang melupakan sistem drainase yang baik. Sehingga membangun perumahan, jalan raya, gedung bertingkat, tapi lupa memperbaiki sistem drainasenya. Semua hal ini yang menyebabkan banjir, bukan?

Tuhan,

Mungkin aku pernah menjadi salah satu manusia-manusia itu. Iya, aku pernah buang sampah sembarangan, aku juga pernah memaki pemerintah. Tapi aku sadar, aku juga salah. Aku tidak merawat Jakartaku dengan baik.

Tuhan,

Akankah Jakartaku bisa senyaman dulu lagi?
Jakarta yang bersih, yang bebas banjir. Jakarta yang belum dipenuhi kendaraan bermotor seperti sekarang.  Aku rindu Jakartaku yang dulu.

Tertanda,


Rula - Penghuni Jakarta

Jumat, 06 Februari 2015

Kepada Hati yang Harus Memilih





Dear Hati,
Berada di antara dua pilihan itu memang tak mudah, kan? Kau harus memilih baik atau buruk. Kanan atau kiri. Si A atau si B. Benar atau salah.
Yang membuat tidak mudah sebenarnya bukan dari pilihannya, melainkan apakah kau akan menyesal dengan pilihanmu nanti? Begitu kan, hati?


Dear Hati,
Sudahkah kau menentukan pilihanmu? Kepada siapa akhirnya kau menuju? Yakinkah kau dengan pilihanmu itu?


Dear Hati,
Jika kau masih ragu dengan pilihanmu itu, dengarkanlah lubuk terdalammu. Ikutilah intuisimu. Aku tahu, itu pasti yang terbaik untukmu.


Dear Hati,
Apapun pilihanmu, Aku tahu, itu pasti yang terbaik untukku.


Terima kasih sudah membantuku memilih, Hati.


Dari pemilik hati,
Rula

Kamis, 05 Februari 2015

Dear Macet

Dear Macet,


Setiap pagi aku selalu bertemu denganmu. Seperti pagi ini, aku bertemu denganmu. Tak hanya sekali aku menemukanmu pagi ini. Iya, kamu beredar di mana-mana. Tidak hanya di Jakarta.
Ah, iya. Kamu sangat tenar. Tapi, sayangnya hampir semua orang mencacimu, membencimu, tidak ada yang menyukaimu. Hmm.. Mungkin ada beberapa yang menyukaimu, tapi masih bisa dihitung dengan jari. Dan itupun karena alasan tertentu. Mungkin.
Penyebab dirimu hadir di muka bumi ini adalah banyaknya jumlah kendaraan bermotor di jalan raya. Iya, penumpukan kendaraan bermotor itulah yang menyebabkan macet di Jakarta khususnya.


Dear Macet,
Sepertinya aku sudahi dulu suratku ini. Nanti aku lanjut lagi ya.


Sampai bertemu nanti sore, macet.


Rula

Rabu, 04 Februari 2015

Dear, Koh Vince yang .......



Teruntuk Koh @vincebastian

Hai, Koh Vince.

Masih ingatkah dengan pertemuan pertama kita? Hari itu hari Rabu, 7 Januari 2015 jam 16.00. Saat pertama kali aku bertemu lelaki berjaket hitam dengan topi putih di ruang depan Studio KIS FM Jakarta, yang ternyata itu adalah Koh Vince. Aku yang hanya bisa menunduk malu, gak berani menyapa Koh Vince saat itu. Takut dikira es-ka-es-de. Padahal hari itu aku datang ke studio KIS FM Jakarta untuk taping siaran bareng Koh Vince. Hal yang sudah aku tunggu sejak lama. Bisa siaran bareng penyiar favorit yang suaranya selalu mengisi pagiku. Ah, iya. Hampir tak pernah aku absen mendengar ceracau Koh Vince dan Bang Mike (@jensmichael) setiap pagi. Menghibur, membuatku tertawa sendirian di antara gencetan penumpang commuterline yang setiap pagi selalu padat penumpang itu.  

Gugup, deg-degan, bingung, canggung, kira-kira itulah yang aku rasakan ketika mbak Prita, dari KIS FM Jakarta, memperkenalkanku pada lelaki ramah yang juga karismatik dan berkulit putih yang mengenakan jaket hitam dan topi putih tadi. Dengan rambut halus menghiasi rahang dan dagunya itu, dialah Vince Sebastian, yang lebih suka disapa Vince, atau Koh Vince. Prince Charming. Ah, maaf jika aku terlalu berlebihan memuji dirimu, Koh. Tapi itu jujur dari lubuk hati terdalam. I’m fallin in love with you. At the first sight. 

Itu awalnya ya, Koh. Malu-malu. Tapi, setelah berbincang beberapa lama aku gak bisa gak ketawa setiap melihat gerak gerik Koh Vince. Bahkan aku harus berkali-kali menahan tawa saat kita mau mulai taping. Sampai Koh Vince heran dan bertanya, “ada yang salah ya sama gue?” dan kalau gak salah aku menjawab, “lucu aja denger suara Koh Vince yang gak sesuai sama muka” kira-kira seperti itulah jawabanku ya, Koh? Hehe..

Iya, agak aneh memang begitu melihat dari wajah tampan berkarismatik itu mengeluarkan suara agak berat, ngebass. Padahal suara itu sudah begitu akrab ditelingaku setiap pagi. Tapi entah kenapa itulah yang aku rasakan saat melihat sang pemilik suara yang ternyata memilik darah Tionghoa ini langsung di depan mata. Dreams come true, huh?

 Dear, Koh Vince yang ......

Entah aku harus mengisi titik titik itu dengan apa. Meskipun baru kenal dengan Koh Vince beberapa menit, tapi aku bisa dengan mudahnya akrab dengan lelaki beralis tebal ini. Ah, iya. Mungkin karena persamaan alis kita ya, Koh? Atau mungkin karena dirimu memang mudah mencairkan suasana. Aku yang kaku dan gugup bahkan cenderung garing ini bertemu dengan dirimu yang ramah, supel dan humoris. Gak nyambung sih memang. Agak awkward. Dan aku harus meminta maaf karena beberapa kali guyonan Koh Vince aku cuekin. Gak aku gubris. Maaf ya, Koh.

Terima kasih karena sudah mau meluangkan waktu untuk siaran bareng seorang Rula-yang-disenggol-dikit-curhat. Hahaha. But, that was fun. Bisa kenal dengan penyiar kece, ngobrol serta foto bareng. Nah, bagian foto ini yang paling seru. Wefie. Hihih.

Kenangan pertama siaran bareng Koh Vince dengan sedikit curhat dan playlist lagu yang isinya curhatan semua. Terima kasih (sekali lagi), Koh Vince dan KIS FM, tentunya, yang sudah mewujudkan salah satu mimpi seorang Rula. Kenangan yang gak akan pernah terlupakan!

Tetap semangat siarannya ya, Koh. Tetaplah selalu merusak pagi hari para pendengar dengan banyolan-banyolan duet maut Koh Vince dan Bang Mike. Dan aku senaaaaaanggg hari Rabu ini kalian perdana siaran di #WednesdaySlowMachine. Meskipun agak aneh, kalian yang biasanya rusuh, harus agak sedikit kalem di hari Rabu ini. Hihihi... But I still love you both!

By the way, kayaknya sekian dulu ya, Koh, suratnya. Pasti Koh Vince udah mulai pegel deh bacanya. Udah panjang, bahasanya campur aduk. Labil. Ga jelas. Hehehe.. Pisss, Koh

Best Regrads,
Your big fans ever.





















Rula (@rulachubby)

Nb : thx for the pic Koh

Selasa, 03 Februari 2015

Kepada Mentari yang Tak Pernah Berhenti Menyinari Bumi


Selamat pagi, Mentari.

Pagi ini aku melihatmu tersembunyi malu-malu di balik awan kelabu.
Memancarkan warna jingga keemasan yang cantik.
Iya, pagi ini kau tampak cantik, Mentari.

Kau tahu, Mentari?
Aku merindukan kehadiranmu setiap pagi.
Memberiku pelukan hangatanmu setiap pagi.
Pancaran sinarmu menerangi bumi setiap harinya.
Panasmu membuat cairan di permukaan bumi menguap naik membentuk awan.

Aku begitu merindukanmu, Mentari.
Karena tidak setiap hari aku bisa bertemu denganmu.
Beberapa hari yang lalu, hujan menyabotase pagiku.
Menyembunyikanmu dibalik awan kelabu.

Tapi aku tahu, Mentari.
Kau tak pernah lelah berhenti menyinari bumi dan alam semesta.
Kau biarkan sinarmu menerangi seluruh alam dari kegelapan.
Kau berikan kehangatan di setiap cahayamu.
Kau keringkan tanah basah dengan pancaran sinarmu.

Terima kasih untuk tetap bersinar menerangi alam ini, Mentari.
Terima kasih untuk selalu memberikan cahaya terang bagi kami penduduk bumi.
Meskipun aku tahu, beberapa dari kami sering mengeluh akan panas dan terikmu.

Teruslah bersinar, Mentari. 





Nb: Pic from here

Senin, 02 Februari 2015

See You Very Soon, D

Hai, D...

Maaf ya, kemarin aku gak kirim surat ke kamu. Tapi aku senang, karena semalam aku bisa mendengar suaramu lagi. Meskipun hanya sesaat. Seperti biasa, sinyal provider yang tidak bersahabat. Ditambah lagi kondisiku saat itu sudah sangat lelah, mengantuk. Jadi ngomongnya udah makin ngelantur. Dan kamu tahu itu. 

D, terima kasih ya beberapa bulan ke belakang ini sudah menjadi pendengar setia aku, menghibur aku di setiap aku sedih atau stres karena pekerjaan, perhatianmu yang selalu mengingatkan aku untuk jangan telat makan, dan semua kebaikan kamu yang lainnya. Termasuk menemukan aku kembali.  Entah harus aku harus membalas kebaikanmu itu bagaimana.

Maaf jika aku selalu mengganggu jam tidurmu selama ini. Selalu merepotkanmu, bahkan beberapa kali membuatmu khawatir akan aku.

Aku senang masih sempat berbincang denganmu lagi. Senang bisa bercanda denganmu lagi. Karena itu memang doaku selama ini.

Tapi.... Sepertinya ini akan menjadi suratku yang terakhir untukmu. Karena ada hati yang harus aku jaga. Maaf, D. Aku harus memilih. Kaupun tahu itu. Kita sudah membahas ini berkali-kali.

D, boleh kan aku berharap masih tetap bisa bercanda denganmu via telepon ataupun chatting. Itupun jika kamu tak keberatan.

Oh iya, jangan lupa mengabari aku ya jika kamu jadi ke Jakarta. Aku akan mengenalkanmu dengannya. Seperti permintaanmu waktu itu. See you very soon, D

Rula-chan

Minggu, 01 Februari 2015

Ceracau Hujan pada Bumi

Dear Bumi,

Sejak semalam aku jatuh membasahimu.
Aku juga mengajak serta kabut dan udara dingin untuk menyelimutimu hingga pagi ini.
Iya, hingga pagi ini aku pun masih setia bercengkrama denganmu melalui rintik rintik airku.

Kau tahu, Bumi? Aku sangat menyayangimu lebih dari apapun.
Aku tak ingin bumi kekeringan akibat ditempa panas mentari.
Aku tidak ingin kau dehidrasi karena persediaan cairanmu menipis, menguap tertarik panasnya Sang Mentari.

Kau lihat betapa aku menyayangimu, Bumi?
Dan aku sangat menyayangkan begitu tahu kau diperlakukan tidak adil oleh penghunimu.
Mereka merusakmu, Bumi.
Mereka terus menggali hingga perutmu.
Mereka juga mengotorimu, menebarkan limbah bekas mereka pakai di mana-mana.
Mendirikan bangunan-bangunan liar yang menyebabkan terhambatnya kau meresap curahan air dariku.

Aku sedih, bumi.
Ya, meskipun aku tahu tidak semua makhluk penghunimu perusak.
Ada beberapa dari mereka yang justru berjuang untuk merawatmu, memperbaikimu, menjagamu.
Dan aku berterima kasih pada mereka yang dengan sukarela menjagamu.

Bumi, aku sudahi dulu, ya, ceracauku pagi ini.
Tapi tenang saja, aku masih setia mengunjungimu pagi ini.

















Salam sayang, Hujan.

Nb : Pic from here