Dear, My Future
Husband
“Apa kamu yakin mau nikah sama aku?”
Sepertinya kamu sudah bosan, ya,
setiap hari mendengar pertanyaan yang sama keluar dari mulutku. Setiap kita
bertemu, selalu itu yang aku tanyakan padamu. Seakan-akan aku tak pernah puas
dengan jawabanmu sebelumnya. Padahal aku tahu, jawabanmu memang tidak pernah
berubah. Kau selalu menjawab dengan senyuman dan anggukan “Yakin”. Meskipun
terkadang kamu mengembalikan pertanyaan ini kepadaku. Dan aku hanya diam seribu
bahasa.
Maaf ya, kalau aku selalu mengulang pertanyaan yang sama. Karena sebenarnya pertanyaan ini tidak hanya
aku tujukan padamu, tapi juga aku tujukan kepada diriku sendiri.
“Apakah aku yakin mau nikah sama
kamu? Jadi istri kamu?”
“Apakah aku bisa jadi istri yang
baik untukmu nanti?”
“Apakah aku bisa membahagiakan
kamu?”
Dan “Apakah-apakah” lainnya masih
berlari-larian mengelilingi kepalaku. Memenuhi rongga kosong dalam tempurung
berbalut pasmina ini.
Iya, aku takut. Aku khawatir. Aku
cemas…
Aku takut gak bisa jadi istri
yang baik untuk kamu.
Aku takut gak bisa bahagiain
kamu.
Aku takut kamu akan menyesal
karena memilih aku menjadi pendamping hidupmu, kemudian meninggalkan aku.
Iya, aku membayangkan itu semua. Hal
yang membuatku takut untuk maju.
Kamu, yang dengan jelinya
memperhatikan kekhawatiranku yang berlebihan ini.
Kamu, yang bingung dengan sikapku
yang semakin aneh ini.
Kamu, yang akhirnya
mempertanyakan semua ketakutanku.
Kamu bilang padaku “Kamu adalah
kebahagiaan aku. Jadi, aku udah cukup bahagia kalo kamu mau jadi pendamping
hidupku”
Aku bungkam. Lidahku kelu. Tubuhku
mengeluarkan sensasi yang tak kuduga saat mendengar kalimat manis itu. Gombal memang,
tapi aku tahu kamu tulus mengucapkan itu.
Masih dengan tidak percaya dirinya,
akupun mempertanyakan hal-yang-biasanya-dianggap-penting, “Kalau ternyata aku
gak bisa punya anak, ga bisa hamil, gimana? Kamu akan ninggalin aku? Kamu akan
nikah lagi?”
Dan (lagi-lagi) dengan senyuman,
sambil menggenggam tanganku, dan matamu tak lepas menatapku, dalam, kamu
berucap “Aku gak masalah meskipun ternyata gak punya anak. Selama aku bisa sama
kamu, itu udah cukup buat aku. Udah ya, kamu jangan mikir yang macem-macem lagi”
dan berakhir dengan usapan lembut di kepalaku.
Kepada calon imamku,
Sesungguhnya aku belum sepenuhnya
yakin akan pilihanku ini. Iya, aku masih tidak percaya dengan diriku sendiri, bisa
jadi makmum yang baik untukmu kelak atau tidak? Tapi, aku akan serahkan
semuanya kepada Sang Pemilik Kehidupan. Aku pasrahkan kepada Penulis Skenario
kehidupanku. Jika memang aku ditakdirkan untuk menjadi makmummu, semua proses
ini akan lancar-lancar saja, bukan?
Kepada lelaki yang menunggu
jawabanku ini,
Jika memang takdirku untuk menghabisi sisa hidupku bersamamu, hanya satu pintaku. Bimbing aku agar bisa menjadi makmum yang baik untukmu. Itu saja.
Me, your future wife.
Dear you two, future couple.
BalasHapusI wait your invitation :)
Doakan saja ya, yin :*
HapusAamiin. :*
HapusSemoga pilihanmu adalah yg terbaik :)
BalasHapusAminn... Terima kasih :)
Hapus