Rabu, 15 April 2015

Pulang

Tangannya masih menggenggam tanganku erat. Disaat aku harus memasuki gerbong kuda besi yang sudah menungguku sejak tadi.

“Kamu benaran gak bisa menunggu sebentar, lagi Sha?” tanyanya dengan muka mengiba. Sejak tadi ia terus memintaku untuk tetap di sampingnya. Seakan kami tidak akan pernah bertemu lagi.
“Maaf, tapi keretaku sebentar lagi berangkat. Aku harus pergi, Ka”. Ujarku sembari melepaskan genggaman tangannya yang begitu erat. Tampak kebiruan dibalik kuku tangan beningku. “Ka, bulan depan kan kita akan bertemu lagi. Kita pasti ketemu lagi, kok. Percaya sama aku.”
Raka hanya nenunduk, dan kedua tangannya masih menguasai tanganku.
“Tapi…”
“Kenapa, karena mimpimu semalam itu?” tanyaku lagi.

Ah, lagi-lagi Raka mempercayai mimpi buruknya itu.

“Kamu doakan aku selamat ya, biar bulan depan kita bisa bertemu lagi. Okey, sayang?” ujarku meyakinnya lagi. Kali ini aku beri kecupan lembut di keningnya. Pertahanannya runtuh. Tanganku sudah ia bebaskan dari cengkeramannya.
“Aku pulang dulu ya. Kamu jaga kesehatan.” Kali ini aku memeluknya. Meyakinkan dia aku akan baik-baik saja.

***

Aku sudah baik-baik saja sekarang, Ka. Aku di sini, memperhatikanmu dengan seksama. Kau bersimpuh di hadapan gundukan tanah basah dengan taburan bunga warna-warni. Menangis tersedu.
Maafkan aku tak mendengarkanmu, Ka.
Maaf karena aku tak mempercayai perkataanmu.
Aku pulang. Kembali meninggalkanmu.

Kali ini, untuk seterusnya. 

Kecelakaan kereta itu memaksaku untuk meninggalkanmu, Raka. 


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku


Dafe

“Dear, seseorang gak akan berarti di muka bumi ini kalau dilupakan. Tetapi akan lebih berarti lagi manusia itu jika dikenang.”
(Dafe, 19 Juli 2014)

Nisa termenung memahami kalimat yang muncul di layar ponsel pintarnya itu. Sepenggal kalimat dari seseorang di masa lalunya yang kini entah di mana, yang ia salin dan captured.
Dafe, begitu Nisa  sering memanggilnya, adalah seseorang yang teramat berarti bagi Nisa, dulu. Semasa SMA. Tapi, sudah sepuluh tahun lamanya Nisa tak mendengar kabar beritanya. Entah masih hidup atau sudah meninggal, Nisa tak tahu. Hingga suatu hari Nisa mendapatkan nomor asing menghubunginya melalui pesan singkat. Dan semua kenangan seakan bermunculan dengan sendirinya.

Fragmen-fragmen yang sebelumnya bersembunyi dibalik lobus-lobus otaknya kembali bermunculan. Terutama adegan yang menceritakan tentang dirinya dan Dafe di masa lalu.

“Aku senang kamu masih ingat sama aku, Nis” ujar Dafe malam itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, Dafe?” jawabku.
“Aku bukan siapa-siapa, Nis. Tak pantas kau kenang aku. Tapi, aku berterima kasih kau masih sudi mengingat orang seperti aku ini.” Kemudian pembicaraan kami terputus.


Dan ternyata itu kali terakhirnya Nisa bisa berbincang lagi dengan Dafe, lelaki yang pernah hadir dalam hidupnya, dulu.


Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku