Minggu, 01 November 2015

Safety Riding Versi Raden

Safety Riding Versi Raden
By. Nurul Aria
 
pic from here

Drrt.. drrttt…

Ponsel pintar Rani bergetar sejak tadi di dalam saku seragam kerjanya, entah siapa yang meneleponnya sejak tadi. Sayangnya Rani masih harus menyelesaikan terapi pada pasiennya yang terakhir hari ini sebelum pulang.

Saat menuliskan bukti bayar untuk pasiennya, sekilas Rani melihat ke arah jam dinding berwarna hitam yang tersimpan rapi di dinding di hadapannya, jarum pendek sudah menunjuk angka 9 sedangkan jarum panjangnya sudah di angka 10, tetapi di ruangannya masih ada pasien anak yang belum selesai terapi sejak tadi.

Seharusnya Rani memang sudah bisa pulang pukul 20.30 tadi, karena memang kliniknya tutup jam 20.00.  Namun ternyata, ketika Rani sedang bersiap untuk pulang, ada pasien yang datang mendadak untuk diterapi. Untungnya hanya terapi uap pada anak yang tidak membutuhkan waktu berjam-jam.

Setelah pasiennya selesai dan sudah keluar dari ruangan kliniknya, Rani mengambil ponsel pintarnya yang tadi bergetar. Tertera 5 notifikasi panggilan tak terjawab, dan beberapa notifikasi whatsapp di layar ponselnya itu.

Tanpa sadar ditepuk dahinya, “Ya Tuhan. Lupa. Kan tadi janjian sama Raden pulangnya.”

Kedatangan pasiennya yang mendadak membuatnya lupa mengabari teman komunitasnya tersebut. Tadi Rani memang sudah janjian dengan Raden untuk pulang bareng karena jalur pulangnya Raden melewati klinik tempat ia bekerja, rumah mereka pun searah.

Sebelum membaca pesan di whatsapp yang juga dari Raden, Rani mencoba menghubungi Raden terlebih dahulu, namun tidak diangkat.

Mungkin Raden sudah di jalan. Pikir Rani sambil membuka pesan di whatsappnya.

Raden : Ran, gue otw tempat lo ya.
Raden : gue tlp lo ga diangkat2.
Raden : gue tunggu tempat biasa. ok.
Raden : paling 15 menit lagi gue sampe.

Rani bergegas merapikan kliniknya, mencabut kabel-kabel listrik dari alat-alat terapi kemudian mematikan lampu ruangan dan AC.

“Raden seharusnya sudah sampai, nih.” Ujar Rani pelan ketika menuju tempat janjiannya dengan Raden yang tak terlalu jauh dari kliniknya. Dan ternyata benar dugaan Rani. Raden sudah tiba di tempat mereka janji bertemu.

Ini memang bukan kali pertama Rani pulang bareng Raden. Semenjak Raden mengambil kuliah kelas karyawan di daerah Salemba yang tak terlalu jauh dari klinik tempat Rani bekerja, hampir setiap mendapat jadwal shift sore, Rani selalu pulang bareng Raden. Lumayan mengirit ongkos dan waktu, pikirnya.
  
Dilihatnya pria bertubuh kekar itu sedang melepaskan sarung tangannya, kemudian baru melepaskan helmnya dan menaruhnya di atas tangki bensin motor besarnya.

Sorry lama, Den. Ada pasien mendadak tadi.” Ujar Rani ketika sudah berada di dekat Raden.

“Hey, Ran. Gue juga baru sampe kok. Santai. Heheh.” Pria yang ditegurnya itu berujar sambil berjalan menuju bagian belakang motornya. Membuka boks yang selalu ia bawa di motornya tersebut, mengambilkan helm full face dan menyerahkannya ke Rani.

“Tas lo mau ditaro di boks sekalian, gak? Biar enak lo duduknya.” Tanya pria berkepala plontos itu.

“Eh, iya, boleh.” Rani kemudian menyerahkan tas gembloknya yang agak berat itu ke Raden, kemudian langsung dimasukkan ke dalam boks yang memang muat 2 helm itu.

“Lengkap amat, Bro, atributnya. Kayak mau touring aja.” Ujar Rani ketika melihat Raden mulai mengenakan lagi satu persatu atribut bermotornya.

Mulai dari dalaman helm yang seperti ciput ninja para hijabers, kemudian helm full face, dan terakhir sarung tangan. Sedangkan jaket tebal-hitamnya sudah melekat sejak tadi di tubuh kekarnya. Pun dengan sepatu boots yang terpasang rapi di kedua kakinya.

Safety riding itu penting, Ran.” Jawabnya sambil mengenakan sarung tangannya yang sebelah kanan.
“Meskipun gak touring?” tanya Rani.
“Meskipun gak touring” ulang Raden yang kemudian naik ke atas motornya. “Yuk, Ran, naik.”

Rani pun perlahan menaiki motor besar milik Raden di bagian belakang, bagian penumpang. Sejujurnya Rani agak kurang suka naik motor besar dengan boks di bagian belakangnya. Ribet naiknya.

“Udah?” Tanya Raden dari depan kemudi.
“Udah.” Jawab Rani setelah menyandarkan punggungnya di boks.
“Udah pake helmnya, kan?” tanya Raden lagi.
“Udeeeh, pak Raden” jawab Rani sambil mengetuk helm di kepalanya sendiri.
“Hahah, sorry, Ran. Gue cuma mastiin aja keselamatan lo. Daripada lo kenapa-napa, ntar” ujarnya memastikan.

Setelah yakin atribut keselamatan sudah dikenakan dengan baik dan benar, Raden pun membiarkan motor besarnya melaju menyusuri jalanan ibu kota di malam hari.

****

Saat memasuki wilayah Cilandak yang agak sedikit macet, meskipun saat itu jam di ponsel pintar Rani sudah menunjukkan angka 22.00, Raden membuka kaca di helm full facenya dan sedikit menoleh ke Rani lalu bertanya,
“Ran, lo laper, gak? Mampir dulu ya. Heheh.”
“Boleh. Boleh. Gue juga gak sempet makan tadi gara-gara pasiennya padet gitu.”

Mereka akhirnya mampir di warung tenda yang menjual pecel lele di sekitar Cilandak. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Rani mulai menanyakan hal yang sepanjang perjalanan tadi terpikirkan olehnya.

“Den, kan tadi lo bilang Safety Riding itu penting, ya? Seberapa pentingnya sih?”
“Kenapa lo nanya gitu, Ran?” bukannya menjawab, Raden justru bertanya balik ke Rani.

“Soalnya yang gue lihat, masih banyak pengendara motor yang mengabaikan tentang safety riding ini. Tapi lo gak. Lihat aja perlengkapan perang lo banyak gitu.” Jawab perempuan berkacamata ini.

“Hmm… Panjang nih gue jelasinnya. Bisa tiga sks. Hahah.” Canda Raden.
“Santai. Makanan masih belom datang ini.” Balas perempuan berkerudung biru di hadapannya itu.

“Buat gue, berkendara sepeda motor itu memang seharusnya memakai perlengkapan pelindung seluruh badan. Karena, kan, naik sepeda motor gak ada besi yang melindungi badan kayak mobil, Ran. Makanya perlengkapan perang gue banyak banget.” Jelas Raden. “Helm, jaket, celana panjang, sarung tangan, bahkan riding shoes atau boots itu safety gear paling penting buat gue.” Lanjutnya lagi.

“Kalo helm, harus full face emangnya, ya, Den? Bukannya half face juga udah SNI, ya?” tanya Rani sambil mengaduk-aduk teh manis hangatnya yang baru datang.

“Sebenernya sih, mau pake helm yang mahal atau yang murah, half face atau full face, gak terlalu masalah. Tapi, ternyata gue lebih nyaman pake helm full face. Ya, meskipun gak semua helm full face pasti nyaman, sih. Makanya gue lebih seringnya beli yang harganya sedikit agak di atas rata-rata. Lebih nyaman.”  Raden menghentikan bicaranya ketika makanan yang kami pesan akhirnya datang juga.

“Mau lanjut atau makan dulu nih?” ujar Raden sambil mencelupkan jari-jari tangan kanannya ke dalam mangkok besi berisi air bersih yang memang disediakan untuk kobokan itu.
“Makan dulu aja kali, ya.” Jawabku.

****

“Tadi sampe mana gue jelasinnya?” tanya Raden begitu piringnya bersih dari makanan, tapi tidak dengan mulutnya.

“Lo baru jelasin tentang helm aja, kok, tadi.” Jawab Rani.
“Eh, ini gak papa lo balik agak maleman lagi? Masih panjang soalnya. Heheh.”
“Santai, Pak. Besok masih shift sore. Hehe.”
“Oke” ujar Raden sambil mengacungkan ibu jarinya yang masih basah, baru dicuci di air kobokan.

“Masih tentang helm. Mungkin bagi kebanyakan orang pakai helm yang nyaman atau full face gak terlalu penting kalau naik motor untuk jarak dekat atau sekedar ngantar anak ke sekolah atau beli makanan di warung. Tapi, kita kan gak pernah tahu di depan sana ada apa? Bisa aja kan ternyata kita jatuh tiba-tiba dari motor, atau keserempet, terus kepala kita terbentur jalanan. Pake helm aja masih bisa kenapa-napa. Apalagi gak pake helm.” Diambilnya gelas minumnya yang airnya sudah setengah itu, kemudian diteguknya hingga habis.

“Gue, yang biasa nempuh jarak jauh rumah-kantor-kampus, atau kalo touring, deh. Bisa aja kan ngalamin kejadian ‘tak terduga’ gitu.” Ujarnya sambil membentuk tanda kutip dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya di udara saat menyebutkan kata ‘tak terduga’. “Kalo misalnya gue gak pake helm yang nyaman dan aman buat gue, ya bisa wasalam.”

“Contohnya gini, pake helm yang bentuk busa dalemnya gak cocok sama bentuk kepala, atau bobot helmnya terlalu berat, gak nyaman banget pasti. Mungkin awalnya cuma berasa leher pegal. Tapi, efek terparahnya bisa bikin sebadan-badan capek, bahkan bisa berakibat pandangan jadi agak kabur. Bahaya, kan, tuh.”    

Rani mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju dengan penjelasan Raden yang memang sesuai logikanya itu. Tapi masih ada yang mengganjal juga di kepalanya.

“Terus kalo jaket, celana panjang, boots, sama apalagi tuh yang lo bilang tadi, kepentingannya apa?” Rani semakin penasaran dengan safety riding versi Raden ini setelah mendengarkan penjelasan tentang helm.

“Udah banyak sebenarnya artikel yang membahas bisa kena penyakit ini, itu, akibat naik motor gak pake jaket. Kalo gue, ya, buat ngelindungin badan dari udara atau angin, lah. Karena berkendara motor itu impactnya langsung ke sekitar kita, salah satunya ya udara atau angin itu.”

“Kalo bisa, sih, pake jaket yang kualitasnya memenuhi aspek kategori windproof. Terus kalo perjalanan jauh, baiknya pake yang ada pelindung siku, bahu dan lengan kayak gini, sebagai tambahan proteksi ketika terjadi benturan karena kecelakaan.” Tambahnya sambil menunjuk bagian siku dan bahu pada jaket yang tadi ia kenakan.

“Nah, kalo celana panjang sih hampir sama fungsinya kayak jaket. Sarung tangan pun. Tapi ini wajib sih buat gue. Karena gue selalu berasumsi bahwa gue gak pernah tahu sepanas dan sedingin apa jalur yang gue lewatin. Karena pernah, pas gue ke Puncak Pass gak pake sarung tangan sama sekali. Jadilah jari-jari tangan gue kaku dan gemetaran. Hahah” ujarnya sambil menggerak-gerakkan kesepuluh jari-jarinya.

“Beku ya, Den, jari lo?” tanya Rani meyakinkan.
“Banget.”
“Lo yang banyak lemaknya aja bisa beku, apalagi gue, ya? Hahha” canda Rani.
“Haha sial.”

“Eh, terus kenapa harus boots?” Rani masih belum mendengar penjelasan tentang penggunaan sepatu boots ini dari mulut Raden.

“Oiya, sepatu khusus motor atau boots riding ini biasanya tingginya sampai semata kaki atau lebih. Gue punya satu cerita kalo tentang ini. Bos gue yang ngalamin, sih. Jadi waktu itu dia buru-buru harus ke kantor. Biasa pake pantofel, dong, ya, kalo orang kantoran. Pas setengah jalan menuju kantor, dia kecelakaan. Dari mata kaki sampai samping tulang kering retak, cedera luka dalam gitu, deh. Dan itu karena kena separator busway itu, loh. Kontak langsung, tanpa pelindung. Gara-gara itu harus dioperasi dan ngabisin uang puluhan juta rupiah.”

“Ya, Allah. Serem amat.” Rani menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Cuma gara-gara kurang safety riding, keluar uang banyak, ya.” Lanjutnya lagi.

“Ya pilihannya cuma itu kan, Ran. Antara keluar modal agak banyak sedikit buat beli perlengkapan safety riding yang bisa bikin nyaman dan memberikan proteksi badan seutuhnya, atau harus ngalamin kecelakaan dulu terus keluar uang puluhan juta, bahkan nyawa bisa melayang, baru menyesal? Tinggal pilih.” Ujarnya sambil senyum.

“Wah, Seru nih ngobrol sama lo. Jadi nambah pengetahuan gue tentang berkendara. Meskipun lebih seringnya jadi penumpang doang gue. Hehe”

“Eh, tunggu. Ada dua hal lagi yang ketinggalan.” Ujar Raden tiba-tiba.
“Apa?”
“Saat berkendara motor itu, sebisa mungkin otak atau pikiran harus rileks, Ran. Meskipun lagi banyak pikiran. Karena safety itu sendiri kan berawal dari pikiran kita sendiri. Sama buat kondisi senyaman mungkin, lah, ketika di atas motor.” Ujar Raden mengakhiri penjelasan panjangnya.

“Wah, makasih banyak, loh, Den, atas penjelasannya. Makin ngerti gue tentang pentingnya safety riding.” Ujar Rani semangat. “Eh, tapi pulang malem aman gak, nih?” tanyanya sambil melihat jam di ponsel pintarnya.
“Eh, iya. Udah malem banget. Gak bagus lah buat anak gadis. Bentar gue bayar dulu, ya.”  

Setelah selesai membayar makanan dan minuman yang mereka pesan, Raden dan Rani pun menuju tempat motor besar Raden diparkir. Dan Raden memulai lagi ritual memakai atribut bermotornya tersebut.  

***


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar