Safety
Riding Versi Raden
By. Nurul Aria
pic from here |
Drrt.. drrttt…
Ponsel pintar Rani bergetar sejak tadi di dalam saku
seragam kerjanya, entah siapa yang meneleponnya sejak tadi. Sayangnya Rani
masih harus menyelesaikan terapi pada pasiennya yang terakhir hari ini sebelum
pulang.
Saat menuliskan bukti bayar untuk pasiennya, sekilas
Rani melihat ke arah jam dinding berwarna hitam yang tersimpan rapi di dinding
di hadapannya, jarum pendek sudah menunjuk angka 9 sedangkan jarum panjangnya
sudah di angka 10, tetapi di ruangannya masih ada pasien anak yang belum
selesai terapi sejak tadi.
Seharusnya Rani memang sudah bisa pulang pukul 20.30
tadi, karena memang kliniknya tutup jam 20.00. Namun ternyata, ketika Rani sedang bersiap
untuk pulang, ada pasien yang datang mendadak untuk diterapi. Untungnya hanya
terapi uap pada anak yang tidak membutuhkan waktu berjam-jam.
Setelah pasiennya selesai dan sudah keluar dari
ruangan kliniknya, Rani mengambil ponsel pintarnya yang tadi bergetar. Tertera 5
notifikasi panggilan tak terjawab, dan beberapa notifikasi whatsapp di layar ponselnya itu.
Tanpa sadar ditepuk dahinya, “Ya Tuhan. Lupa. Kan tadi
janjian sama Raden pulangnya.”
Kedatangan pasiennya yang mendadak membuatnya lupa
mengabari teman komunitasnya tersebut. Tadi Rani memang sudah janjian dengan
Raden untuk pulang bareng karena jalur pulangnya Raden melewati klinik tempat
ia bekerja, rumah mereka pun searah.
Sebelum membaca pesan di whatsapp yang juga dari Raden, Rani mencoba menghubungi Raden
terlebih dahulu, namun tidak diangkat.
Mungkin
Raden sudah di jalan. Pikir Rani sambil membuka pesan di whatsappnya.
Raden : Ran, gue otw tempat lo ya.
Raden : gue tlp lo ga diangkat2.
Raden : gue tunggu tempat biasa. ok.
Raden : paling 15 menit lagi gue sampe.
Rani bergegas merapikan kliniknya, mencabut
kabel-kabel listrik dari alat-alat terapi kemudian mematikan lampu ruangan dan
AC.
“Raden seharusnya sudah sampai, nih.” Ujar Rani pelan
ketika menuju tempat janjiannya dengan Raden yang tak terlalu jauh dari kliniknya.
Dan ternyata benar dugaan Rani. Raden sudah tiba di tempat mereka janji
bertemu.
Ini memang bukan kali pertama Rani pulang bareng
Raden. Semenjak Raden mengambil kuliah kelas karyawan di daerah Salemba yang tak
terlalu jauh dari klinik tempat Rani bekerja, hampir setiap mendapat jadwal shift sore, Rani selalu pulang bareng
Raden. Lumayan mengirit ongkos dan waktu, pikirnya.
Dilihatnya pria bertubuh kekar itu sedang melepaskan
sarung tangannya, kemudian baru melepaskan helmnya dan menaruhnya di atas tangki
bensin motor besarnya.
“Sorry lama,
Den. Ada pasien mendadak tadi.” Ujar Rani ketika sudah berada di dekat Raden.
“Hey, Ran. Gue juga baru sampe kok. Santai. Heheh.” Pria
yang ditegurnya itu berujar sambil berjalan menuju bagian belakang motornya.
Membuka boks yang selalu ia bawa di motornya tersebut, mengambilkan helm full face dan menyerahkannya ke Rani.
“Tas lo mau ditaro di boks sekalian, gak? Biar enak lo
duduknya.” Tanya pria berkepala plontos itu.
“Eh, iya, boleh.” Rani kemudian menyerahkan tas
gembloknya yang agak berat itu ke Raden, kemudian langsung dimasukkan ke dalam
boks yang memang muat 2 helm itu.
“Lengkap amat, Bro, atributnya. Kayak mau touring aja.” Ujar Rani ketika melihat
Raden mulai mengenakan lagi satu persatu atribut bermotornya.
Mulai dari dalaman helm yang seperti ciput ninja para hijabers, kemudian helm full face, dan terakhir sarung tangan. Sedangkan
jaket tebal-hitamnya sudah melekat sejak tadi di tubuh kekarnya. Pun dengan
sepatu boots yang terpasang rapi di
kedua kakinya.
“Safety riding
itu penting, Ran.” Jawabnya sambil mengenakan sarung tangannya yang sebelah
kanan.
“Meskipun gak touring?”
tanya Rani.
“Meskipun gak touring”
ulang Raden yang kemudian naik ke atas motornya. “Yuk, Ran, naik.”
Rani pun perlahan menaiki motor besar milik Raden di
bagian belakang, bagian penumpang. Sejujurnya Rani agak kurang suka naik motor
besar dengan boks di bagian belakangnya. Ribet naiknya.
“Udah?” Tanya Raden dari depan kemudi.
“Udah.” Jawab Rani setelah menyandarkan punggungnya di
boks.
“Udah pake helmnya, kan?” tanya Raden lagi.
“Udeeeh, pak Raden” jawab Rani sambil mengetuk helm di
kepalanya sendiri.
“Hahah, sorry,
Ran. Gue cuma mastiin aja keselamatan lo. Daripada lo kenapa-napa, ntar”
ujarnya memastikan.
Setelah yakin atribut keselamatan sudah dikenakan
dengan baik dan benar, Raden pun membiarkan motor besarnya melaju menyusuri
jalanan ibu kota di malam hari.
****
Saat memasuki wilayah Cilandak yang agak sedikit
macet, meskipun saat itu jam di ponsel pintar Rani sudah menunjukkan angka 22.00,
Raden membuka kaca di helm full facenya
dan sedikit menoleh ke Rani lalu bertanya,
“Ran, lo laper, gak? Mampir dulu ya. Heheh.”
“Boleh. Boleh. Gue juga gak sempet makan tadi gara-gara
pasiennya padet gitu.”
Mereka akhirnya mampir di warung tenda yang menjual
pecel lele di sekitar Cilandak. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Rani
mulai menanyakan hal yang sepanjang perjalanan tadi terpikirkan olehnya.
“Den, kan tadi lo bilang Safety Riding itu penting, ya? Seberapa pentingnya sih?”
“Kenapa lo nanya gitu, Ran?” bukannya menjawab, Raden
justru bertanya balik ke Rani.
“Soalnya yang gue lihat, masih banyak pengendara motor
yang mengabaikan tentang safety riding
ini. Tapi lo gak. Lihat aja perlengkapan perang lo banyak gitu.” Jawab perempuan berkacamata ini.
“Hmm… Panjang nih gue jelasinnya. Bisa tiga sks. Hahah.”
Canda Raden.
“Santai. Makanan masih belom datang ini.” Balas perempuan berkerudung biru di hadapannya itu.
“Buat gue, berkendara sepeda motor itu memang
seharusnya memakai perlengkapan pelindung seluruh badan. Karena, kan, naik
sepeda motor gak ada besi yang melindungi badan kayak mobil, Ran. Makanya
perlengkapan perang gue banyak banget.” Jelas Raden. “Helm, jaket, celana panjang, sarung tangan, bahkan riding shoes atau boots itu safety gear
paling penting buat gue.” Lanjutnya lagi.
“Kalo helm, harus full
face emangnya, ya, Den? Bukannya half
face juga udah SNI, ya?” tanya Rani sambil mengaduk-aduk teh manis
hangatnya yang baru datang.
“Sebenernya sih, mau pake helm yang mahal atau yang
murah, half face atau full face, gak terlalu masalah. Tapi,
ternyata gue lebih nyaman pake helm full
face. Ya, meskipun gak semua helm full
face pasti nyaman, sih. Makanya gue lebih seringnya beli yang harganya
sedikit agak di atas rata-rata. Lebih nyaman.” Raden menghentikan bicaranya ketika makanan
yang kami pesan akhirnya datang juga.
“Mau lanjut atau makan dulu nih?” ujar Raden sambil
mencelupkan jari-jari tangan kanannya ke dalam mangkok besi berisi air bersih
yang memang disediakan untuk kobokan itu.
“Makan dulu aja kali, ya.” Jawabku.
****
“Tadi sampe mana gue jelasinnya?” tanya Raden begitu
piringnya bersih dari makanan, tapi tidak dengan mulutnya.
“Lo baru jelasin tentang helm aja, kok, tadi.” Jawab
Rani.
“Eh, ini gak papa lo balik agak maleman lagi? Masih panjang
soalnya. Heheh.”
“Santai, Pak. Besok masih shift sore. Hehe.”
“Oke” ujar Raden sambil mengacungkan ibu jarinya yang
masih basah, baru dicuci di air kobokan.
“Masih tentang helm. Mungkin bagi kebanyakan orang
pakai helm yang nyaman atau full face
gak terlalu penting kalau naik motor untuk jarak dekat atau sekedar ngantar
anak ke sekolah atau beli makanan di warung. Tapi, kita kan gak pernah tahu di
depan sana ada apa? Bisa aja kan ternyata kita jatuh tiba-tiba dari motor, atau
keserempet, terus kepala kita terbentur jalanan. Pake helm aja masih bisa
kenapa-napa. Apalagi gak pake helm.” Diambilnya gelas minumnya yang airnya
sudah setengah itu, kemudian diteguknya hingga habis.
“Gue, yang biasa nempuh jarak jauh rumah-kantor-kampus,
atau kalo touring, deh. Bisa aja kan
ngalamin kejadian ‘tak terduga’ gitu.” Ujarnya sambil membentuk tanda kutip
dengan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya di udara saat menyebutkan kata ‘tak
terduga’. “Kalo misalnya gue gak pake helm yang nyaman dan aman buat gue, ya
bisa wasalam.”
“Contohnya gini, pake helm yang bentuk busa dalemnya
gak cocok sama bentuk kepala, atau bobot helmnya terlalu berat, gak nyaman
banget pasti. Mungkin awalnya cuma berasa leher pegal. Tapi, efek terparahnya
bisa bikin sebadan-badan capek, bahkan bisa berakibat pandangan jadi agak
kabur. Bahaya, kan, tuh.”
Rani mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju
dengan penjelasan Raden yang memang sesuai logikanya itu. Tapi masih ada yang
mengganjal juga di kepalanya.
“Terus kalo jaket, celana panjang, boots, sama apalagi tuh yang lo bilang
tadi, kepentingannya apa?” Rani semakin penasaran dengan safety riding versi Raden ini setelah mendengarkan penjelasan tentang
helm.
“Udah banyak sebenarnya artikel yang membahas bisa
kena penyakit ini, itu, akibat naik motor gak pake jaket. Kalo gue, ya, buat
ngelindungin badan dari udara atau angin, lah. Karena berkendara motor itu impactnya langsung ke sekitar kita,
salah satunya ya udara atau angin itu.”
“Kalo bisa, sih, pake jaket yang kualitasnya memenuhi
aspek kategori windproof. Terus kalo
perjalanan jauh, baiknya pake yang ada pelindung siku, bahu dan lengan kayak
gini, sebagai tambahan proteksi ketika terjadi benturan karena kecelakaan.” Tambahnya
sambil menunjuk bagian siku dan bahu pada jaket yang tadi ia kenakan.
“Nah, kalo celana panjang sih hampir sama fungsinya
kayak jaket. Sarung tangan pun. Tapi ini wajib sih buat gue. Karena gue selalu
berasumsi bahwa gue gak pernah tahu sepanas dan sedingin apa jalur yang gue
lewatin. Karena pernah, pas gue ke Puncak Pass gak pake sarung tangan sama
sekali. Jadilah jari-jari tangan gue kaku dan gemetaran. Hahah” ujarnya sambil
menggerak-gerakkan kesepuluh jari-jarinya.
“Beku ya, Den, jari lo?” tanya Rani meyakinkan.
“Banget.”
“Lo yang banyak lemaknya aja bisa beku, apalagi gue,
ya? Hahha” canda Rani.
“Haha sial.”
“Eh, terus kenapa harus boots?” Rani masih belum mendengar penjelasan tentang penggunaan
sepatu boots ini dari mulut Raden.
“Oiya, sepatu khusus motor atau boots riding ini biasanya tingginya sampai semata kaki atau lebih. Gue
punya satu cerita kalo tentang ini. Bos gue yang ngalamin, sih. Jadi waktu itu
dia buru-buru harus ke kantor. Biasa pake pantofel, dong, ya, kalo orang
kantoran. Pas setengah jalan menuju kantor, dia kecelakaan. Dari mata kaki
sampai samping tulang kering retak, cedera luka dalam gitu, deh. Dan itu karena
kena separator busway itu, loh. Kontak
langsung, tanpa pelindung. Gara-gara itu harus dioperasi dan ngabisin uang
puluhan juta rupiah.”
“Ya, Allah. Serem amat.” Rani menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya. “Cuma gara-gara kurang safety riding, keluar uang banyak, ya.” Lanjutnya lagi.
“Ya pilihannya cuma itu kan, Ran. Antara keluar modal agak
banyak sedikit buat beli perlengkapan safety
riding yang bisa bikin nyaman dan memberikan proteksi badan seutuhnya, atau
harus ngalamin kecelakaan dulu terus keluar uang puluhan juta, bahkan nyawa bisa
melayang, baru menyesal? Tinggal pilih.” Ujarnya sambil senyum.
“Wah, Seru nih ngobrol sama lo. Jadi nambah
pengetahuan gue tentang berkendara. Meskipun lebih seringnya jadi penumpang doang
gue. Hehe”
“Eh, tunggu. Ada dua hal lagi yang ketinggalan.” Ujar Raden
tiba-tiba.
“Apa?”
“Saat berkendara motor itu, sebisa mungkin otak atau
pikiran harus rileks, Ran. Meskipun lagi banyak pikiran. Karena safety itu sendiri kan berawal dari
pikiran kita sendiri. Sama buat kondisi senyaman mungkin, lah, ketika di atas
motor.” Ujar Raden mengakhiri penjelasan panjangnya.
“Wah, makasih banyak, loh, Den, atas penjelasannya. Makin
ngerti gue tentang pentingnya safety
riding.” Ujar Rani semangat. “Eh, tapi pulang malem aman gak, nih?”
tanyanya sambil melihat jam di ponsel pintarnya.
“Eh, iya. Udah malem banget. Gak bagus lah buat anak
gadis. Bentar gue bayar dulu, ya.”
Setelah selesai membayar makanan dan minuman yang
mereka pesan, Raden dan Rani pun menuju tempat motor besar Raden diparkir. Dan Raden
memulai lagi ritual memakai atribut bermotornya tersebut.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi
Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan
Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh
Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar