Bayangan hitam menghiasi
rerumputan di hadapannya sore ini. Esta mengamati siluet hitam yang semakin
memanjang dihadapannya.
Matahari sudah semakin
rendah rupanya.
Diarahkannya mata almondnya
menghadap langit. Menikmati gradasi warna senja kali ini. Semburat jingga
berpadu dengan merah muda dan sedikit warna violet. Mengingatkan dia akan
permen gula kapas kesukaan Rania.
Rania...
Rania, gadis kecil berpipi bulat yang
semakin bulat ketika ia memasukkan permen gula kapasnya sebanyak mungkin ke
dalam mulutnya.
Rania yang hampir selalu meminta
ditemani olehnya untuk berjalan-jalan sore. Hanya untuk melihat senja.
Iya, Rania sangat menyukai senja.
“Bunda... Bundaa, kenapa
langitnya berwarna seperti gula kapas, bunda?” tanya Rania waktu itu.
Karena mataharinya mau bobok
cantik dulu, sayang” Jawab Esta Asal.
“Oh, gitu ya, Bun. Kalo Rania mau
bobok cantik juga, langit bisa jadi kayakk permen kapas juga gak ya?” yang
hanya dijawab Esta dengan senyuman.
Rania kesayangan Bunda.
“Langit hari ini berwarna seperti
kapas lagi, Sayang” Esta memandang gundukan tanah yang masih basah di
hadapannya. Dibelainya lagi nisan kayu yang bertuliskan nama gadis kecilnya.
Esta tak mampu lagi menahan pilu yang sejak tadi menusuk-nusuk relung hatinya.
“Bun, Kita pulang, ya. Rania
sudah tidur tenang sekarang.” Raka berusaha membantu Esta untuk bangkit.
Kemudian dipeluknya salah satu wanita terkasihnya itu.
“Ikhlasin, Bun. She’s in heaven
now.” Gumpalan hangat yang sejak tadi membendung di pelupuk mata Raka pun
akhirnya tumpah.
Flash Fiction ini ditulis untuk
mengikuti program #FF2in1 dari nulisbuku.com di facebook dan Twitter @nulisbuku
Ah, Rania.
BalasHapus