Rabu, 09 September 2015

Bidadari Petrichor

Bau tanah basah yang baru disiram oleh hujan setelah seharian panas terik selalu menjadi kesukaan Kayla. Seperti saat ini, ia pejamkan kedua matanya. Diresapinya aromatherapy kesayangannya ini.

"Selalu seperti ini ekspresinya" Ridho terheran dengan sahabat kecilnya yang masih saja bersikap sama sejak lima tahun lalu.

"Enak tau, aromanya, dho. Coba deh" Kayla masih belum membuka kedua matanya.
"Enak apanya. baunya aneh gitu"
"Makanya sambil diresapi. Sambil merem coba ngehirupnya" kali ini Kayla tersenyum. Masih dengan memejamkan kedua matanya.

Pemandangan yang selalu Ridho nantikan sebenarnya. Salah satu hal yang Ridho suka saat hujan, bersama Kayla. Memandangi bidadari di sampingnya secara diam-diam.

"Kawaidesu" gumam Ridho.
"Artinya apa, Dho?" Kayla membuka matanya dan berpaling menatap lelaki di sampingnya itu.
"Artinya gue ngantuk" Ridho bangkit dari duduknya.
"Udah reda nih, La. Jalan lagi, yuk" Ridho berjalan meninggalkan Kayla di halte tempat mereka berteduh dari hujan gerimis tadi. Meraba dada kirinya yang berdetak semakin tak karuan setiap Kayla memandangnya seperti tadi.

Entah sampai kapan ia harus menyembunyikan perasaannya ini. Terlalu pengecut baginya untuk menyatakan perasaannya pada gadis bermata sendu penyuka petrichor itu.





Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku


Tidak ada komentar:

Posting Komentar