Jumat, 15 Juni 2012

Kerudung Merah



Juli 2008,
Selepas PTT di Belitung, Anantha memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Pematang Siantar, Medan. Sejak lahir hingga menginjak usia remaja Anantha tinggal di kota yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun ini bersama kedua orang tuanya. Bahkan hingga kini, Mama dan Papa Anantha masih betah menempati rumah sederhana mereka di wilayah kecamatan Siantar Timur.

“Hendak kemana kau setelah PTT ini bang?” Tanya bu Ros, Mama Anantha, di hari kedua kepulangan Anantha.
“Belum tahu Ma, abang mau liburan dulu saja lah.” Jawab Anantha
“Tak mau kerja di Rumah Sakit kau?” selidik bu Ros. Anantha hanya mengangkat kedua bahunya keatas.
“Ke Danau Toba yuk bang!” Ujar Lani, adiknya, tiba-tiba.
“Ah, ide bagus tuuh. Lah lama abang tak kesana” ujar Anantha antusias.

Saat masih remaja, Anantha sering mengunjungi danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara itu bersama teman-teman sekolahnya. Objek wisata yang terletak sekitar 52 km dari Pematang Siantar ini memiliki keindahan tersendiri, yang tidak dapat di ungkapkan dengan kata-kata.
***

“Masih cantik kan bang?” Tanya Lina setibanya mereka di Danau Toba.
“Semakin cantik” ujar Anantha yang langsung membidikkan lensa kameranya ke hamparan air yang menggenang luas di hadapannya.

Rumah-rumah penduduk, hamparan bukit hijau, pohon kelapa, pinus, memenuhi memori kamera Anantha. Lani yang banci kamera pun tak mau melewatkan momen ini, ikut ambil bagian dari setiap gambar yang tertangkap kamera Anantha.

Di arahkannya lagi lensa panjangnya ke arah lain, terlihat di kejauhan bukit-bukit berbaris dengan gagahnya, Pulau Samosir di tengah danau. Kemudian bidikannya ia arahkan lagi ke tepian danau, beberapa kapal fery berlabuh di dermaga, menunggu wisatawan yang hendak menyebrang ke tengah danau.

Tiba-tiba matanya terpaku pada sosok gadis cilik berkerudung merah diantara para wisatawan di tepi danau. Gadis cilik berkerudung merah itu menawarkan sesuatu kepada pengunjung danau Toba kala itu. Sesuatu yang mengingatkannya pada bidadari yang ia temukan di pulau lengkuas beberapa waktu yang lalu.

“Nisrina” gumam Anantha lirih. 

Kemudian ia berjalan menghampiri gadis kecil berkerudung merah yang tak kenal lelah menawarkan setangkai mawar putih pada pengunjung. Senyuman tetap merekah di wajah gadis berkerudung merah itu, meskipun belum ada satu tangkai mawar yang terjual.

“Mawarnya berapa satu tangkai, dik?” Tanya Anantha setelah berada dekat dengan gadis kecil berkerudung merah itu.

“Lima ribu satu tangkainya kak. Kakak mau beli kah?” Tanya gadis kecil itu.

“Kenapa kamu menjual bunga mawar putih? Bukannya mawar merah?” Lina tiba-tiba bertanya. Anantha refleks menoleh keasal suara tersebut. Ternyata Lina mengikutinya diam-diam.

“Sejak kapan abang suka bunga? Mawar putih pula?” Lina menatap abangnya heran, karena yang ia tahu, abangnya paling anti dengan bunga. Bahkan untuk mengabadikannya dalam gambar dengan kameranya pun Anantha tidak mau.

“Sok tahu kamu.” Anantha mengacak-acak rambut pendek adik kesayangannya itu.

Kemudian pandangannya beralih ke gadis kecil berkerudung merah lagi,

“Nama kamu siapa dik? Dan kenapa kamu berjualan bunga?” selidik Anantha.

“Nama saya Nisrina kak. Saya berjualan bunga untuk membantu orang tua saya yang sedang sakit.” Ucapan gadis kecil berkerudung merah itu membuat Anantha terkejut.

“Dan mawar putih ini…” Nisrina terdiam menatap keranjang berisi puluhan kuntum mawar putih yang di bawanya “…hanya ini yang sedang berkembang di taman rumah.” Lanjutnya lagi.

“Nisrina, nama yang cantik.” Ujar Lina “Kamu yang menanam semua ini?” Tanya Lina menunjuk keranjang yang penuh mawar putih.

Anantha masih terdiam memperhatikan anak kecil di hadapannya ini.

“Ibu yang menanam semua ini kak. Ibu sangat menyukai mawar putih, makanya ibu saya menanamnya di kebun depan rumah. Dan memberi saya nama Nisrina, yang artinya mawar putih” Ujarnya antusias. “Tapi, saat ini ibu sedang sakit, dan ibu  menyuruh saya menjualnya.” Nada bicaranya berubah menjadi sedih.

“Mawar putih itu kan perlambang..”

“Cinta sejati, cinta yang tulus dan suci” Anantha berkata lirih. Terlintas raut wajah bidadari yang sering menghantuinya belakangan ini. Ya, Anantha mencintai bidadari itu.


“Kakak beli semua mawar putih yang kau bawa dik” Anantha mengeluarkan sejumlah uang dari dompet kemudian langsung menyerahkannya pada Nisrina kecil yang menerimanya dengan penuh rasa syukur.

Sambil menyerahkan mawar putih beserta keranjangnya pada Anantha, Nisrina tak henti-hentinya mengucap syukur. “Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan kakak berdua” ujar Nisrina kecil yang kemudian pamit pulang dengan wajah gembira. Kerudung merahnya bergoyang di tiup angin yang berhembus dari arah danau.

“Semoga ibumu lekas sehat ya dik” sahut Anantha.


#15HariNgeblogFF2 day 4


piss aja yaah.. :')
v(^,^)v

*i am really in loveeee* *yeaay*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar