Jumat, 18 Januari 2013

Cuti Sakit Hati




Rani terdiam mematung di depan pintu berwarna coklat yang tidak tertutup rapat itu. Di hadapannya kini terlihat adegan seorang wanita yang menggunakan blouse berwarna merah dan rok mini berwarna hitam sedang mencumbu mesra lelaki bertubuh atletis.

Lelaki yang dalam beberapa hari kedepan akan menjadi suaminya. Lelaki yang pernah berjanji tidak akan menyakitinya ataupun melukai perasaannya. Lelaki yang meyakinkannya bahwa masih ada pria yang bersikap gentleman dan bertanggung jawab. Dan sekarang lelaki tersebut sedang bercumbu mesra dengan wanita lain. Sigh!

Tanpa pikir panjang Rani berbalik arah dan berjalan dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin berada di kantor tersebut lebih lama lagi. Dadanya semakin sesak, kedua matanya pun mulai terasa panas.

Sehabis menutup telepon dari Ferdi beberapa jam yang lalu, Rani memutuskan untuk menemui Ferdi di kantornya saja. Rani tidak dapat menunggu lebih lama lagi hingga jam kerja usai. Ia tidak dapat berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Pikirannya selalu di penuhi bayang-bayang Nisrina, anaknya, dan juga reaksi Ferdi saat mengetahui tentang keberadaan Nisrina.

Iya, Rani awalnya ingin memberitahu Ferdi tentang Nisrina, yang mungkin akan mempengaruhi rencana pernikahan mereka yang tinggal hitungan hari ini. Tapi kejadian yang ia lihat barusan sudah cukup membuatnya yakin keputusan apa yang harus ia pilih.

Sakit hati sudah pasti. Di saat ia mencoba mempercayai dan mencintai lelaki itu sepenuhnya, Rani harus menerima kenyataan bahwa Ferdi tidak ada bedanya dengan Sony, mantan kekasihnya yang meninggalkannya dalam keadaan mengandung dulu.

“Ternyata semua lelaki sama” umpat Rani dari balik kemudinya.

Dibenamkan wajahnya diantara kedua lengannya yang menyilang di atas kemudi mobilnya. Rani tidak dapat lagi menahan cairan yang sejak tadi mulai membendung di kedua matanya. Ia menangis hingga kedua bahunya berguncang di dalam Honda Jazz berwarna biru itu.

Sekitar 30 menit ia berada dalam kondisi seperti itu. Pikirannya kacau, pandangannya buram karena air mata yang masih deras mengalir dari kedua matanya. Hati teramat sakit. Luka lamanya kembali terkuak. Semakin perih, seperti luka yang sudah hampir mengering yang disiram alkohol kemudian di iris-iris dengan pisau. Sangat perih.

45 menit….

1 jam…

Rani mulai dapat menguasai dirinya. Di hirupnya udara sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga paru-parunya, kemudian dihempaskannya perlahan-lahan. Hal tersebut dilakukannya berulang-ulang hingga hati dan pikirannya benar-benar tenang. Benar-benar bisa berpikir dengan jernih.

Di raihnya ponsel berwarna putih dari dalam tasnya. Kemudian Rani menekan tombol berwarna merah pada ponselnya. Switch off. Saat ini, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun, terutama Ferdi, lelaki yang ternyata tidak jauh berbeda dengan Sony. Di lemparkannya ponsel berwarna putih itu ke dalam tasnya. Kemudian ia menyeka bekas air mata yang membasahi kedua pipinya dengan tissue. Di hirup kembali udara sebanyak mungkin, kemudian di hempaskannya udara tersebut perlahan-lahan. Di tariknya sudut-sudut bibirnya keatas, mencoba tersenyum.

Setelah memasangkan seatbelt dengan benar, Rani menyalakan mobilnya. Hati dan pikirannya sudah lebih tenang sekarang. Sesaat kemudian Honda Jazz berwarna biru itu pun melaju meninggalkan lahan parkir di gedung perkantoran yang terletak di pusatnya kota Jakarta itu.

***

“Bunda Rani datang…. Bunda Rani datang lagi….” Beberapa anak panti menghampiri Rani sambil berteriak-teriak dengan gembira.   

Rani kemudian berjongkok dan memeluk satu persatu anak-anak yang sebagian besar masih berusia dibawah lima tahun itu.

“Hari ini pinter semua kan?” Tanya Rani pada kerumunan anak kecil tersebut yang dijawab dengan anggukan oleh mereka.

“Karena kalian semuanya pinter-pinter, ini Bunda bawain hadiah untuk kalian” Rani mengangkat kantong plastik berukuran besar yang berisi makanan ringan yang sengaja ia beli sebelumnya, khusus untuk mereka.

“Mau.. mau.. mau..” teriak anak-anak tersebut sambil mengangkat tinggi tangannya. Kemudian mereka semua membentuk barisan yang rapi, seperti biasa, dan satu persatu menghampiri Rani mengambil hadiah yang dimaksud Rani.

“Hayo, bilang apa sama Bunda Rani..” ujar Bu Susi, kepala yayasan di panti tersebut yang sudah berdiri di belakangnya sejak tadi, tanpa ia sadari.

“Terima kasih Bunda Rani…” ujar mereka kompak. Kemudian berlarian menuju ruangan bermain meninggalkan Rani berdua dengan Ibu Susi.

Rani kemudian berdiri sambil tersenyum puas. Ada kebahagiaan tersendiri setiap melihat anak-anak panti tersebut tertawa bahagia. Seperti tidak ada beban. Lepas.

Tidak salah ia mengambil keputusan untuk cuti sejenak dari sakit hatinya terhadap Ferdi, dengan mengunjungi anak-anak panti ini. Salah satu hiburan terbaiknya saat sedih. Berada di sekitar anak-anak yang selalu ceria, tanpa beban.    


Cerita sebelumnya : Orang Ketiga Pertama

Hari ke-4 #13hariNgeblogFF 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar