Sabtu, 27 September 2014

Movie Review : Bhineka Tunggal Ika Dalam Rumah Makan

Hoolaaaa

Gue mau review Film Tabula Rasa yang kemarin gue tonton. Prolognya tentang si Tabula Rasa dulu, yaa.. 



TABULA RASA....

Film yang diproduksi oleh Lifelike Pictures besutan Sutradara Adriyanto Dewo dan yang rencananya akan tayang di bioskop-bioskop kesayangan kalian semua pada tanggal 25 September 2014 ini baru aja ngadain Gala Premiere-nya di Epicentrum XXI, 21 September 2014 lalu. 


Berikut sinopsis dari Film Tabula Rasa...

Film yang menceritakan tentang Hans (Jimmy Kobogau), pria asal Serui, Papua, yang ke Jakarta untuk mewujudkan impiannya menjadi pemain sepak bola. Namun sayangnya mimpinya kandas di tengah jalan. Hans, yang putus asa dan hampir mengakhiri nyawanya, namun gagal, bertemu dengan Mak (Dewi Irawan) pemilik rumah makan Takana Juo yang menjual makanan khas Minang dan Uda Natsir (Ozzol Ramdan). Singkat cerita, Hans tinggal bersama Mak, membantu Mak belanja ke Pasar. Namun ternyata Uda Parmanto (Yayu Unru) kurang menyukai kehadiran Hans. Nah, di sini lah mulai bermunculan konflik-konflik yang mempengaruhi keberlangsungan Rumah Makan Takana Juo.

Oke, now the review...

Overall gue mau bilang ini film yang sangat UNIK. Karena mengangkat tema kuliner dari Minang. Memperlihatkan “dapur”nya rumah makan khas Minang secara gamblang. Tidak hanya proses memasak yang ditampilkan, tetapi juga konflik yang terdapat di dalamnya. Suka duka memiliki rumah makan yang tidak sedikit kompetitornya. Juga memperlihatkan sisi baik seorang manusia yang ingin membantu manusia lain yang sedang kesusahan. Toleransi.

Untuk sinematografinya, Keren! Karena ternyata pengambilan gambarnya menggunakan kamera ARRi Alexa XT Plus yang merupakan kamera terbaik di kelasnya. Itu sebabnya mata gue sangat dimanjakan dengan pemandangan alam Papua yang sesekali dimunculkan di layar. Gak cuma itu, mata dan otak gue juga dimanjakan dengan rendang tacabiak, dendeng batokok juga gulai kapalo kakap. Terima kasih kepada Amalia Trisna Sari, sang sinematografer, yang sudah berhasil membuat otak gue memerintahkan ke indra perasa untuk memproduksi saliva lebih banyak. Asli ngecesss pas liat  kuah kalio manggaletek di atas wajan saat diaduk-aduk oleh Hans.

Dan oh iya, taragak akan pepatah yang Mak bilang tentang mengaduk rendang *mencoba mengingat-ingat... namun lupa bahasa minangnya apa* intinya sih, kalo ngaduk rendang itu jangan terlalu sering, tapi jangan juga jarang diaduk. Karena kalo jarang diaduk nanti jadinya pecah santan, atau santannya menggumpal seperti tai kambing. Hihi.. itu juga sih yang nyokap bilang tiap gue bantuin bikin rendang.

Daaann... kalimatnya Uda Parmanto “Rumah makan Padang tapi yang masak orang Papua” ... Bhineka Tunggal Ika dalam rumah makan. Is it?

Baiklah, saya akhiri review film ini. Semoga gak bocor semua. Lebih kurangnya mohon dimaafkan, karena seperti inilah gue apa adanya.

Masih ragu mau nonton Tabula Rasa? Mending cek trailernya dulu dehh... 





















4 komentar:

  1. sheila timothy9/22/2014 12:11:00 PM

    Terima kasih teman2 utk apresiasinya. Seneng sekali bisa bekerja sama dan mendapat review yg baik. Mengangkat suatu budaya Indonesia memang harus sangat hati2 jangan sampai ada kekeliruan sekecil apapun dlm tiap adegannya. Termasuk budaya minang. Makanya utk adegan masak dan budaya/bahasa kami melakukan riset sampai hampir 2 tahun. Dan kami jg di bantu oleh para Ahli, Culinary Advisor dan Cultural Advisor. Cultural Advisor kami adalah bpk Tom Ibnur seorang tokoh minang dan ahli budaya terutama sumatera barat. Beliau mengajarkan bahasa dialek sampai kpd detail gesture dari ketiga tokoh minang dlm Film. Ketiga karakter tsb kl kita bisa lihat lbh jeli punya perbedaan dari dialek dan gesture krn memang mereka digambarkan dari daerah yg berbeda2. Seperti nama Parmanto, parmanto diambil dari kata Pariaman sawah lunto. Dimana pada tahun pasca PRRI banyak org minang yg menamakan anak mereka dengan nama kejawa2an.. Utk bahasa pun kita ingin berbeda dgn film2 minang yg pernah ada. Kita tidak mau menggunakan bahasa minang yg baku, tp justru bahasa minang yg lbh sehari2 dipakai di kampung. Ini mengingat strata sosial mrk. Dan dari sini kami mencoba menawarkan keunikan lain dr bahasa minang yg pernah ada di film2 Indonesia sebelumnya. Menurut Tom Ibnur seperti halnya bahasa sehari2, kata "Ang" pun sama halnya dengan penggunan Kamu(laki2) atau "Lo" dalam pergaulan modern. Kata "Lo" bisa jd halus tapi bisa jg mjd kasar atau bahkan sangat kasar bila di tempatkan pada kalimat yg berbeda atau dgn penekanan yg berbeda. Contoh "Lo gak makan dulu sebelum jalan?" (Halus) - "Penipu Lo!! Udah ngambil resep2 Gw!!" (Kasar). Begitupun jg halnya dengan "Ang" atau "Wa'ang" (lbh ada penekanan). Bahkan kl kita nonton lbh detail ada kata2 sehari-hari seperti: kantuik, ujang kaliang, pancilok gadang, birai den, pakek bagalintin, dll (kalau orang minang pasti tau artinya hehe..). Kata2 itu bisa menjadi sangat kasar tp bisa jg menjadi lucu/jahil dalam kondisi yg berbeda tanpa bermaksud menghina atau merendahkan org lain. Kira2 seperti itu.. Intinya dlm film kami tidak berbicara tentang minang, serui (papua), hitam, putih, rendang, papeda. Semua itu hanya sebagai perwakilan dan gambaran kecil dari seluruh Indonesia yg kaya akan keberagaman. Dan dgn kita menjaga warisan kuliner kita yg kaya, secara gak langsung kita telah menunjukkan rasa Nasionalisme kita lwt cara yg berbeda, dan tentunya Nasionalisme yg lbh seksi, Nasionslisme dan Bhineka Tunggal Ika lewat kuliner. :)
    Selamat Menonton teman2 tgl 25 September 2014. Maju terus FILM INDONESIA.
    -Tabula Rasa Film-

    BalasHapus
    Balasan
    1. huwahh.. terima kasih sudah menjelaskan dengan detail, mbak... sukses terus perfilman Indonesia!

      Hapus
  2. Sesuai permintaanmu semalem. Kalau yg mau di komentarin cuma seputar baso minang yg ada di review kamu, berarti hanya penggunaan kata waang dalam baso minang yg akan aku tanggapin, krna yg kamu komentari di atas terkait bahasa, cuma kata waang. Hehehe. Sebelumnya utk yg belum tau, kata waang dalam baso minang berarti panggilan atau penyebutan kata 'kamu' dalam bahasa Indonesia untuk anak laki laki, umumnya dari yg lebih tua ke yang lebih muda. Penggunaan waang itu nggak selamanya kasar. Tergantung ke siapa lawan bicara kita. Kalau bicara ke yg lebih muda atau sepantaran, penggunaan waang di beberapa daerah di tanah minang itu masih wajar (seperti dari orang tua ke anaknya atau antar sesama teman), kecuali kalau bicara ke yg lebih tua atau bicara secara formal dan atau bicara dg intonasi lebih tinggi, itu baru kasar. Kalau gw boleh analogikan, penggunaan kata waang itu sama seperti penggunaan kata 'lo' dalam keseharian hidup di jakarta, hanya digunakan untuk teman sepantaran, bahkan kadang di beberapa daerah dengan adat betawi kata 'lo' juga digunakan dari orang tua ke anaknya. Jadi kalau menurut pandangan aku, kata waang itu nggak selalu bermakna negatif, tapi harus melihat dulu lawan bicaranya serta asal daerah orang yang menggunakannya. Segitu aja yaa tanggapannya. CMIIW.

    BalasHapus