Pelangi Kala
Hujan
By
Nurul Aria / @rulachubby
Lebaran kali ini kamu pulang ke
rumah kan, nduk? Jangan lupa kenalin calon kamu ke Ibu, ya.
Pertanyaan
Ibu semalam masih terngiang dengan jelas di telinga Nisa. Pembicaraan Ibu dan
anak yang terpisah jarak malam itu membuat Nisa tak dapat tidur dengan nyenyak.
Nisa mencoba memejamkan kedua matanya. Mengenyahkan semua yang ada di benaknya
kini. Rasa takutnya akan sebuah komitmen yang bernama pernikahan itu kembali
menghantuinya. Mimpi buruk itu pun datang lagi menghampirinya.
***
Aku janji, aku akan menikahi
kamu. Setelah tugas aku selesai.
Ucapan
Rasyad yang masih Nisa ingat sebelum ia pergi meninggalkan Nisa, menuju pesawat
yang akan membawanya terbang ke Timur Indonesia. Rasyad, lelaki yang sudah lebih
dari dua tahun menjalin kasih dengannya. Lelaki yang sangat ia harapkan akan
menjadi pendamping hidupnya kelak.
Aku janji. Aku sayang kamu. Cuma
kamu yang aku inginkan untuk jadi pendampingku, ibu dari anak-anakku kelak.
Nisa masih ingat janji Rasyad setahun lalu. Di
Bandara Soekarno – Hatta, saat Nisa mengantar keberangkatan lelaki bertubuh
atletis itu untuk bertugas di pulau seberang.
“Hari
ini Rasyad akan pulang.” Nisa melihat lagi kalender pada agendanya. Terdapat
lingkaran dengan tinta merah pada tanggal 12. Nisa menandainya setelah dapat
kabar terakhir dari Rasyad, tiga bulan yang lalu. Sebelum akhirnya komunikasi
mereka terputus. Nisa akan menjemputnya hari ini. Menjemput lelaki yang sangat
ia rindukan.
Seperti apa rupa kamu sekarang, mas?
Nisa
sudah berada di lobby kedatangan
Bandara Soekarno – Hatta. Hatinya berbunga-bunga. Rindunya seakan tak
tertahankan lagi. Sudah tidak sabar ingin memeluk lelaki terkasihnya tersebut.
Nisa
memperhatikan satu persatu penumpang yang keluar. Mencari sosok yang selama ini
ia rindukan.
Ah, itu dia, Rasyad. Tidak ada
yang berubah darinya.
Nisa
tersenyum gembira setelah melihat lelaki yang selama ini ia rindukan sudah
terlihat di kejauhan. Tapi senyumnya tak bertahan lama. Lelaki tersebut semakin
mendekat ke arahnya. Bersama wanita cantik, yang bergelayut mesra di lengan
Rasyad.
Deg! Siapa wanita itu?
“Nisa..”
ekspresi kaget pun terpancar dari wajah maskulin Rasyad. Nisa mencoba untuk
tersenyum, meskipun ada yang mengganjal di hatinya.
“Kamu…
sendiri?” Rasyad kikuk. Nisa mengangguk. Masih dengan senyum yang dipaksakan.
Wanita
cantik berkulit putih itu masih menggandeng lengan Rasyad mesra. Nisa risih
melihat ada wanita lain bersama lelakinya itu.
Seakan
bisa membaca gelagat Nisa, Rasyad mengenalkan wanita berkulit putih tersebut
padanya.
“I..
ini Luna, istri ku. Luna, ini Nisa, sahabat aku sejak kecil” Wanita cantik
berkulit putih tersebut mengulurkan tangannya kehadapan Nisa.
Wanita cantik ini istrinya? Lalu
aku? Sahabatnya sejak kecil?
Pertahanannya
runtuh, dua bendungan yang berusaha ia tahan di kedua matanya pun tak dapat ia
tahan lagi. Nisa membalikkan tubuhnya, membelakangi Rasyad dan wanita yang
ternyata istrinya. Di kedua pipinya sudah terbentuk dua aliran sungai. Nisa
berjalan secepat mungkin menjauhi Rasyad dan keramaian di lobby bandara tersebut. Ia tidak memperdulikan orang-orang yang
memandangnya aneh. Juga teriakan Rasyad yang memanggil namanya. Ia hanya ingin
pergi dari situ, secepatnya.
***
Akhir-akhir ini ia sering melamun.
Entah apa yang ia pikirkan.
Aldi
masih memandangi perempuan bergaun merah di hadapannya. Ya, ia sangat senang
memandangi perempuan yang menjadi rekan kerja satu timnya setahun belakangan
ini.
“Kenapa,
Di?” perempuan bergaun merah tersebut heran melihat Aldi memandanginya terus.
“Ada yang salah sama penampilan gue?” Aldi tersenyum melihat ekspresi keheranan
di wajah Nisa.
“Nggak,
kok. Nggak ada yang aneh sama lu. Gue cuma heran aja, cewek secantik lu hobinya
bengong ternyata. Hehe”
“Sial.
hehe” Nisa pun ikut tertawa.
Kamu manis kalau sedang tertawa. Batin Aldi.
***
“Menikah itu ibadah, Nis. Kalo
cuma gara-gara mantan lu itu lu jadi nggak mau nikah, rugi di elu. Dia udah
bahagia sama pasangannya. Nggak usah lu pikirin dia lagi. Mendingan sekarang lu
pikirin diri lu sendiri, dan Nyokap lu. Berapa umur nyokap lu sekarang? Berapa
umur lu sekarang? Come one, Nis! Allah itu nyiptain makhluknya
berpasang-pasangan. Jadi, kalo lu nggak mau nikah, orang yang tadinya ditakdirin
berjodoh sama lu jadi nggak punya pasangan, dong?”
Obrolannya
saat makan malam dengan Aldi tadi kembali terngiang di benaknya.
“Ada
benarnya, sih” Ujar Nisa sambil memandang plafon kamarnya.
***
Sudah
saatnya.
Batin
Aldi ketika melihat Nisa sedang duduk terdiam di kubikel kerjanya.
“Belum
pulang, neng?” tanya Aldi sambil menepuk pundak Nisa.
“Belum,
nih. Males.”
“Bulan
depan udah puasa, lu nggak ada niat ngambil cuti terus pulang ke rumah sebelum
puasa, gitu?” Aldi menyelidik.
“Nggak.
Entar pasti ditanyain calon terus sama nyokap.”
“Yaudah,
gue temenin.”
“Maksudnya?”
Nisa menatap Aldi bingung.
“Ya..
gue temenin lu pulang, ketemu sama Nyokap lu.” Ujar Aldi santai.
“Buat
apaan? Lagian ya, nanti gue juga bakal pulang ke rumah kok pas lebaran.” Jelas
Nisa heran.
“Buat…
ngelamar lu jadi istri gue.” Ujar Aldi serius. Nisa memandang Aldi heran.
“Gue
nggak tau kapan perasaan ini muncul, Nis. Tapi, setiap gue sama lu, gue selalu ngerasa
bahagia. Setiap ngeliat lu sedih, ataupun ngeliat lu diem kayak belakangan ini,
gue ngerasa kehilangan lu. Kehilangan lu yang selalu ceria, lu yang selalu
senyum sama siapa aja. Lu yang selalu jadi diri lu sendiri.”
Nisa
bergeming.
“Gue
nggak bisa janjiin lu apa-apa, sih. Tapi gue cuma mau buat lu bahagia, Nis.
Nggak sedih lagi setiap ditanya kapan nikah sama nyokap lu. Gue… Gue mau
nyembuhin luka lu itu, Nis. Luka yang dibuat sama mantan lu, yang membuat lu
trauma dengan komitmen dan nggak mau nikah. Gue mau nyembuhin luka lu itu, Nis”
Aldi menggenggam tangan Nisa. Mencoba meyakinkan perempuan di hadapannya ini,
bahwa ia serius ingin menjadikan Nisa pendamping hidupnya.
Nisa
tidak dapat berkata apa-apa. Kedua pipinya sudah basah, kini. Ada perasaan aneh
yang menyerang hatinya. Membuat pertahanannya runtuh lagi.
“Nis…”
Aldi mencari-cari jawaban di mata Nisa.
“Kalo
nyokap gue jantungan, terus anfal karena kaget dengan lamaran lu yang tiba-tiba
ini, sebelum Ramadhan pula, lu mau tanggung jawab?” Nisa menatap Aldi sambil
tersenyum. Aldi menatap mata Nisa, mencari keseriusan di sana. Nisa mengangguk,
kemudian tersenyum dan mengusap air mata yang sejak tadi membasahi pipinya.
Tuhan, terima kasih untuk kejutan
kecil menjelang Ramadhan ini.
***
nb: Ini tulisan gue setahun lalu yang gue ikutsertakan dalam #ProyekMenulis nulisbuku.com yang ternyata masuk dan dicetak di Kejutan Sebelum Ramadhan buku 8. Dan ini iseng gue posting di blog.. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar