Senin, 14 Januari 2013

Pukul 2 Dini Hari


“Lo kenapa beb? Kok dari tadi diem aja sih?” Disya heran melihat sahabatnya yang menjadi pendiam sejak mereka meninggalkan Panti Asuhan.

Rani, yang di tanya hanya menggeleng perlahan. Masih dengan wajah murungnya. Pikirannya masih tertinggal di panti tadi. Bayangan Nisrina, anak perempuan berkaos biru itu selalu menari-nari dalam benaknya kini. Kata-kata Bu Susi, Kepala Yayasan di panti tersebut, masih terngiang-ngiang di benak Rani.

“Empat tahun lalu ibu menemukannya di pinggir jalan dalam keranjang bayi. Di dalam keranjang tersebut terdapat surat yang sepertinya ditulis oleh ibu yang melahirkannya. Di sebutkan dalam surat itu anak ini diberi nama Nisrina.”

Rani menyandarkan kepalanya pada jok mobil, perlahan ia memejamkan matanya. Dihirupnya udara melalui hidungnya, sebanyak mungkin memasukkan oksigen ke dalam rongga paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Berulang kali ia lakukan hal itu, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang semrawut saat ini. 

Beb, are you really okay?” Disya semakin khawatir melihat Rani.

Perlahan Rani membuka matanya.

Sudah saatnya Disya tahu.  Ujar Rani dalam hati.

“Beb, mampir di resto depan ya. Gue mau curhat sama lo.” Akhirnya Rani bersuara.

Walau agak heran, tapi Disya kemudian langsung membelokkan kemudi mobilnya menuju restoran cepat saji  yang di maksud Rani. Di dalam restoran dengan interior berwarna lembut dan agak vintage tersebut, Rani dan Disya menempati meja yang kosong agak di dalam.

Setelah memesan makanan dan minuman, Rani masih kembali terdiam.

“Lo kenapa sih beb?” Disya membuka pembicaraan.

Rani menatap Disya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan masa lalunya yang kelam itu. Mimpi-mimpi buruk yang belakangan mulai menghantuinya lagi. Tapi, kepalanya kembali tertunduk dan air mata membasahi pipinya lagi.

“Kalo mau cerita, cerita aja beb. Mudah-mudahan gue bisa bantu masalah lo ini.” Disya menggenggam tangan Rani, berusaha memberi kekuatan pada sahabatnya sejak kuliah dahulu.

Sekuat tenaga Rani mengangkat kembali kepalanya, menatap Disya. Ada ketulusan seorang sahabat disana.

Dan dengan perlahan mengalirlah segala hal yang mengganjal di pikiran Rani belakangan ini. Tentang mimpi buruknya, yang selalu membuatnya terbangun setiap pukul 2 dini hari. Kunjungan mereka ke Panti tadi pagi. Anak perempuan bernama Nisrina. Penjelasan Bu Susi. Semuanya mengalir dengan lancar dari mulut Rani. Sambil sesekali mengusap air mata yang masih terus mengalir membentuk dua aliran sungai di pipinya.

“Nisrina itu anak gue beb. Dia anak yang pernah ada di rahim gue. Anak yang gue lahirin. Yang kemudian gue tinggalin di pinggir jalan. Empat tahun lalu.” Bahu Rani berguncang karena isakannya. Disya memeluk erat sahabatnya itu. Memberikan kekuatan.

“Lo beneran yakin itu anak lo, beb?”  
“Yakin beb! Matanya. Mata mungil yang selalu gue lihat di mimpi gue.”
“Terus sekarang lo mau gimana? Mau adopsi dia?”

Rani menatap Disya dengan bingung. Kemudian menggeleng lesu.

“Lo tahu nggak kenapa gue tinggalin bayi gue di pinggir jalan tengah malem, empat tahun lalu?” ujar Rani. Disya menggeleng, tak mengerti maksud sahabatnya itu.

“Keluarga gue beb.”.... “Mereka nggak mau terima kondisi bayi gue yang..” Rani kembali terisak
“Cacat maksud lo?” Disya menatap tajam pada Rani yang menggangguk lesu.

Terbayang wajah cantik anak perempuan berkaos biru dalam benak Disya. Cantik, siapa saja yang melihatnya pasti menyukainya. Hanya saja, ia tidak dapat berbicara.

“Tapi itu kan empat tahun yang lalu beb.. Mungkin aja keluarga lo udah melunak sekarang. Apalagi anak lo itu cantik dan terlihat seperti anak normal lainnya kan?” Disya masih terus meyakinkan Rani.
“Mungkin.. Memang ada kemungkinan keluarga gue bisa terima anak gue setelah empat tahun.” Rani terdiam sejenak, masih ada yang mengganjal di hatinya.

“Tapi… Apa Ferdi dan keluarganya bisa terima anak gue itu beb?” Rani memandang Disya sedih.

Ferdi, lelaki yang tidak lebih dari satu bulan lagi akan mengikat janji dengan Rani. Lelaki yang mampu meyakinkan Rani bahwa tidak semua lelaki itu tidak bertanggung jawab. Lelaki yang sangat menyayangi Rani.

“Gue nggak yakin beb. Gue nggak yakin Ferdi bisa terima masa lalu gue yang ini” Rani menutup mukanya dengan kedua tangannya. Bahunya kembali berguncang.

“Kalo dia bener-bener sayang sama lo, dia pasti bisa terima semua kelebihan dan kekurangan lo beb.” Disya memeluk erat sahabatnya yang semakin terlihat rapuh itu.

Semoga.  Ujar Rani dalam hati




Cerita sebelumnya : Kenalan Yuk!

Hari ke 2 #13hariNgeblogFF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar