Jumat, 30 Januari 2015

How Are you, D?

Hai D, how are you?

Meskipun semalam kita masih bercanda melalui telepon hingga masing-masing dari kita tertidur dengan sendirinya, tapi aku tetap menanyakan kabarmu melalui surat ini. 

Kau tahu? Sejujurnya aku masih tak percaya bisa berbincang denganmu lagi. Aku seperti berada dalam mimpi. Kamu, yang selama sepuluh tahun kebelakang menghilang tanpa jejak, tanpa kabar berita, tiba-tiba muncul seperti hantu. Meskipun tidak di hadapanku secara fisik, tapi virtual.

Iya, aku sungguh tak menyangka kamu yang menghubungi aku dini hari itu. Aku masih ingat, saat itu aku sedang bersiap untuk sahur ketika ponsel pintarku menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal. Sejujurnya aku paling malas membalas pesan dari nomor asing, itu kenapa saat itu aku agak malas merespon pesan dari nomor asing tersebut yang ternyata kamu. Maaf, ya.

Saat itu aku tak tahu harus merasa senang, sedih atau takut begitu tahu pemilik nomor asing itu kamu. Orang yang selama ini aku cari, namun tak kunjung kutemukan. Aku bahkan sempat berpikir kamu sudah lebih dulu meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Atau mungkin juga kamu sudah melupakan aku, dan tidak ingin bertemu aku lagi. Semua karena masa lalu yang sangat tidak mengenakkan itu.

Tapi di satu sisi aku senang karena akhirnya kamu yang menemukan aku. Meskipun setelah sepuluh tahun berlalu, kamu masih mengingat aku dalam benakmu. Iya, aku tahu. Sangat sulit bagimu mengumpulkan fragmen dari masa lalu yang memang tidak seharusnya diingat lagi. Terlalu menyakitkan. But you did it! Dan aku berterima kasih karena itu. Akhirnya doa-doaku dikabulkan. Aku bisa bertemu dengan kamu lagi, meski hanya suaramu saja.

Kamu, yang saat ini berada puluhan ribu mil jauhnya dari tempatku tinggal. Terpisah lautan, juga zona waktu kita yang berbeda. Meskipun hanya berbeda dua jam, kamu lebih awal, tapi tetap membuat salah satu dari kita harus mengalah. Entah aku yang harus bangun lebih awal, atau kamu yang tidur lebih telat agar kita bisa bertukar kisah di telepon. Selain itu, sinyal provider juga tak henti-hentinya menguji kesabaran kita. Kamu selalu bilang “Ya, maklum aja namanya juga di pedalaman.” Dan aku mencoba maklum.  

Banyak kisah terucap, banyak rindu tersirat dalam setiap candaan yang kamu lontarkan saat kita bertemu suara. Tapi aku tetap merindukan hadirmu di sini, di hadapanku. Iya, meskipun sudah melihat rupamu dalam foto yang kau kirimkan padaku, tapi aku tetap berharap bisa bertemu muka denganmu.

Aku sudahi dulu ya, surat ini. Bisa habis berlembar-lembar jika aku biarkan tangan ini menuliskan apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan saat ini. Tapi yang pasti, aku tunggu kedatanganmu di Jakarta, D. As soon as possible.

Jaga kesehatanmu, ya! Jangan sampai sakit lagi.


Aku yang merindumu,

Rula

8 komentar:

  1. semoga kau baik-baik saja D, ada seseorang yg setia menunggumu :D

    BalasHapus
  2. semoga D sehat selalu, cepat ketemu (lagi) :)

    BalasHapus
  3. Baru mampir udah suka sama tulisannya :)

    www.fikrimaulanaa.com

    BalasHapus
  4. Orangnya masih idup kok terakhir di cak masih napes...

    BalasHapus