Tok… tok… tok…
“Ka, lo udah rapi kan? Ka…..”
teriak suara perempuan dari balik pintu.
“Ka, jangan bilang lo masih belom
bangun, deh” teriak suara tersebut lagi kali ini diikuti dengan ketukan di
pintu yang lebih kencang.
Dika, yang masih meringkuk di dalam
selimut tebalnya untuk melawan hawa dingin pagi di hari libur ini, dengan
terpaksa menyingkirkan selimut kesayangannya itu dari tubuhnya dan bangkit dari
tempat tidur yang pagi itu memiliki daya gravitasi tinggi untuk menghampiri si
pembuat keributan.
Dengan langkah gontai Dika
menghampiri pintu kayu yang dilapisi cat berwarna tanah kemudian membukakan
pintu bagi perempuan yang sepagi buta ini sudah membuat keributan di depan
kamarnya.
“Bener, kan yang udah gue duga.
Lo masih tidur dan belom rapi” perempuan yang mengenakan kemeja flannel berwarna merah itu mendorong
paksa masuk kamar Dika, menghampiri kursi yang berada tak jauh dari meja
belajar Dika, kemudian menyerahkan handuk yang ia ambil dari kursi tersebut
pada Dika. “Cepetan mandi, gih. Lo kan udah janji mau nemenin gue weekend ini.” Kali ini perempuan
berkacamata itu mendorong Dika menuju kamar mandi yang terletak di sebelah
kanan pintu masuk.
***
“Kita mau ke mana, sih, Ren?”
Dika heran karena Renata, si-perempuan-pembuat-keributan-pagi-ini, mengajaknya
naik kendaraan umum. “Kenapa gak naik mobil gue aja, coba?”
“Kita mau keliling Jakarta naik
kendaraan umum. Kalo naik kendaraan pribadi mah gak ada seninya. Kena macet,
iya” Rena mencibirkan bibirnya di hadapan Dika.
Meskipun sering dibuat kesal
dengan sikap Rena yang seenak udelnya itu, tapi Dika tak pernah menolak
permintaan Rena, yang memang hampir selalu ajaib menurutnya.
Perempuan-pembuat-keributan-pagi-ini sudah Dika kenal sejak mereka masih
menimba ilmu di sekolah dasar. Saat itu Dika merupakan murid baru di sekolah
tersebut, dan hanya kursi di sebelah Rena yang kosong. Sehingga guru wali
kelasnya mempersilahkan Dika untuk duduk bersebelahan dengan Rena. Dan sejak
saat itu hingga siang ini mereka masih terus bersahabat.
“Jadi sebenarnya kita mau ke
mana, Rena?” ujar Dika setelah berada dalam commuterline tujuan Jakarta – Kota.
“Kita mau ke Kotu.” Jawab Rena
lantang
“Kotu?” Tanya Dika ulang.
“Iya, Kotu. Kota Tua. Jangan
bilang lo gak tau Kotu itu di mana deh?” Rena menyipitkan matanya saat menatap
Dika. Yang hanya dijawab Dika dengan senyuman datar.
“Emang ada apa aja di Kotu?”
Tanya Dika datar.
“Banyak museum di sana, Ka. Ada
Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Fatahilah, Museum Wayang,
Museum Keramik, dan banyak museum lainnya. Gak akan nyesel deh lo nemenin gue tour the museum hari ini” ujarnya
menjelaskan. “Dan nanti kalau sempat, kita juga ke Museum Gajah yang deket
Monas, ya”
“Maksudnya kalau sempat?” tanyaku
heran.
“Ya, soalnya kan museum itu
tutupnya jam tiga, Ka. Makanya gue ngajak lo dari pagi berangkatnya. Biar bisa
keliling-keliling museum. Gitu.”
***
“Ka, lo jangan jauh-jauh ya dari
gue. Entar kalo lo ilang, bisa berabe gue laporan ke Tante Dian.” Rena
mengingatkanku lagi untuk tetap berada di dekatnya setelah sampai di stasiun
Kota atau yang lebih dikenal dengan Beos ini.
“Nah, dari stasiun Kota ini kita
lewat pintu keluar yang sebelah kiri aja, Ka. Kita startnya dari MBM aja ya, baru ke MBI dan museum lainnya.” Rena
memulai tugasnya sebagai pemandu wisata bagi Dika yang memang baru pertama kali
menginjakkan kaki di daerah Kota ini.
Setelah menyeberang melalui
penyeberangan bawah tanah, Dika dan Rena memasuki sebuah bangunan tua berwarna
putih dengan tulisan Museum Bank Mandiri berwarna perak.
“Ini dulunya gedung milik
perusahaan dagang dari Belanda, Ka. Dan sekitar tahun enam puluh delapan,
gedung ini beralih jadi kantor pusat Bank Exim.” Rena mulai menjadi pemandu
wisata lagi.
Setelah menaiki tangga masuk ke
dalam Museum Bank Mandiri ini Dika melihat ruangan yang sangat luas dengan
beberapa koleksi yang menggambarkan aktifitas perbankan zaman dulu. Dika
terperangah dibuatnya. Terutama saat membalikkan badannya Dika melihat terdapat
hiasan ornamen berupa stained glass
berwarna warni di dinding atas dekat tangga yang menuju ke lantai atas. Stained
glass yang menggambarkan empat musim seperti musim yang dialami di kawasan
Eropa. Cantik. Hanya itu yang bisa Dika ucapkan dalam hatinya.
Sudah selesai mengelilingi Museum
Bank Mandiri, dan meilhat koleksi lain yang ada di museum ini, akhirnya Rena
mengajaknya ke Museum Bank Indonesia, yang letaknya bersebelahan dengan Museum
Bank Mandiri.
“Nah, kalo di sini kita harus
menitipkan barang bawaan kita, Ka. Gak boleh dibawa masuk” ujar Rena sambil
berjalan menuju tempat penitipan tas. Kemudian mengeluarkan dompet dan
gadgetnya untuk dibawa berkeliling.
“Beli tiket masuknya di mana,
Ren?” tanya Dika polos. Karena sejak di Museum Bank Mandiri, Dika tidak melihat
Rena membeli tiket masuk ke Museum.
“Kalo di MBM sama MBI sih free,
Ka. Nanti di museum yang lain baru bayar tiket masuk. Yuk, masuk ke dalem. Lebih
banyak sejarahnya di sini.” Rena menarik tangan Dika untuk mengikutinya masuk.
Begitu memasuki ruang koleksi Museum
Bank Indonesia ini Dika melihat diorama dan display elektronik juga teknologi
modern lainnya yang menggambarkan sejarah perbankan di Indonesia. Baru kali ini
Dika menemukan museum yang menarik perhatiannya. Ya, mungkin juga karena Dika
hampir tidak pernah berkunjung ke museum, karena Dika memang kurang menyukai
sejarah.
“Kalo ruangan itu isinya emas
batangan, Ka. Replika, sih. Heheh. Dan ruangan ini berlapis baja super tebal,
loh.” Rena menjelaskan lagi.
“Kalo yang itu ruangan apa, Ren?”
Dika menunjuk salah satu ruangan yang agak gelap.
“Oh, itu ruangan koleksi mata
uang. Ruang Numismatik kalo gak salah. Ada mata uang dari berbagai negara juga
kok. Yuk, masuk” Rena mendahului Dika memasuki ruangan yang dindingnya
bercahaya itu.
…
Setelah puas mengelilingi Museum
Bank Indonesia, Dika dan Rena mampir sejenak di Café dekat Museum Fatahillah, Café
Batavia namanya. Beristirahat sejenak, sambil mengisi perut yang sudah protes
minta diisi. Dika menanyakan hal yang memang sejak awal mengganggu pikirannya.
“Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue
jalan, Ren?” tanya Dika.
“Cuma pengen ngajak lo
seneng-seneng, sih. Gak lebih.” Jawab Rena santai sambil menguyah makannya.
“Pasti ada alasan lain, deh.”
“Hehe. Iya, iya. Gue emang gak
pernah bisa bohong ya sama lo, Ka. Lo macam cenayang aja, deh.” Rena meletakkan
sendoknya di atas piring. Kemudian menatap Dika, lekat.
“Kemarin Tante Dian telepon gue.
Tante bilang beberapa hari ini sikap lo aneh terus. Lebih banyak di kamar dan
seakan menghindari Tante Dian. Nah, Tante Dian khawatir anaknya kenapa-napa. Gue
deh yang jadi tumbal buat ngeluarin elo dari kamar.” Rena kemudian berdiri, dan
duduk di kursi kosong di sebelah kiri Dika. “Gue tahu, Ka, alasan lo bersikap
kayak gitu. Kalo emang lo gak mau Tante Dian tahu, ya jangan kayak gitu, lah. Malah
jadi curiga beliau kalo anaknya kenapa-napa.”
Dika termenung. Mengingat kejadian
beberapa hari kemarin yang memang membuatnya seakan tidak ingin bertemu dengan
dunia luar selain kamarnya lagi.
“Udah, jangan bengong. Cepetan abisin
makanan lo. Kita lanjut ke museum lainnya, yuk. Mumpung masih siang, nih. Nanti
keburu tutup.” Rena menyadarkanku.
“Ren, lo gak jijik temenan sama
gue?” Dika bertanya saat perjalanan mereka menuju Museum Fatahillah.
“Jijik kenapa? Karena lo gay?”
Rena menoleh memandang Dika. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala. Rena
menghembuskan napasnya berat. “Awalnya gue kaget sih, Ka, denger rumor tentang
lo itu. Tapi, setelah gue pikir lagi. Itu hak lo, mau memilih jalan hidup
seperti apa. Yang penting lo bahagia dengan hidup lo sekarang. Dan masalah
keluarga lo, pelan-pelan lah bilang ke mereka. Pasti mereka akan paham. Be your self lah, Ka. Okeh!” Rena
menepuk pipi Dika hangat. Sehangat hatinya yang selalu mampu membuat Dika
merasa tidak sendirian di dunia ini.
***
words : 1203
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar