Selasa, 07 Juni 2016

Belajar Mandiri


Beberapa hari lalu gue posting #RandomThought2016 gue di path (yang gue linked ke FB) dan sepertinya menyinggung beberapa pihak.

“Belajar untuk hidup tanpa bergantung pada orang lain bukanlah perkara yang mudah. Terutama bagi mereka yang sejak awal terbiasa dimanja, terbiasa disokong, terbiasa “ada”.
Beda perkara jika ia terbiasa mandiri, terbiasa melakukan semuanya sendiri, dengan hasil keringatnya sendiri. Beda perkara. Dan gue ga akan bahas itu.
Anggaplah, seorang anak terbiasa mendapat sokongan dari orang tuanya. Sebut saja dana dan bantuan lain yang membuat anak terbiasa merasakan kemudahan tanpa harus bersusah dahulu. Ya, memang sih, orang tua mana yang ingin melihat anaknya kesusahan? Jawaban mayoritasnya pasti, tidak ada.
Tapi apa yang salah dengan sokongan (terutama dana) dari orang tua tersebut bagi sang anak? Yang salah adalah “terbiasa”. Sang anak terbiasa hidup mudah tanpa bersusah dahulu. Sang anak terbiasa “diberi” tanpa berusaha. Sang anak tidak terbiasa tanpa sokongan.
Dan bagaimana jika someday, sang pemberi sokongan sudah tidak mampu lagi memberi? Atau yang terburuknya, yang memberi sokongan sudah tiada?
Mungkin sebagian besar akan shock,  kaget, dan seakan kehilangan arah. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana kelak hidup ini?
Bersyukurlah bagi kalian yang sudah terbiasa berusaha. Bersusah dalam kemandirian. Terbiasa tanpa sokongan.
Karena roda kehidupan terus berputar. Kadang berada di atas, kadang di bawah.
Karena setiap yang benyawa pasti mati, meninggalkan dunia yang fana ini. Meninggalkan keluarga yang dicintai. Meninggalkan harta yang dimiliki.
Dan, karena hanya kehendak Sang Pencipta jualah, segala yang kita miliki saat ini masih bisa kita nikmati. Tapi tak tahu esok, lusa, dan masa depan...
#RandomThought2016”
 

Rangkaian kata di atas seketika muncul dan menyentil gue bertubi tubi. Mengingatkan gue akan beberapa tahun silam. Saat gue masih “hobi” menadahkan tangan pada orang tua, dan tante gue yang saat itu “ada” dan berkecukupan.

Iya, sejak kecil gue memang terbiasa dimanja. Apa yang gue mau pasti diberi. Segala hal terasa mudah bagi gue. Hidup dengan bergantung pada orang lain, pernah gue alami. Bahkan, mungkin, sampai sekarang.

Tamparan keras buat gue saat kalimat “Dan bagaimana jika someday, sang pemberi sokongan sudah tidak mampu lagi memberi? Atau yang terburuknya, yang memberi sokongan sudah tiada?” 

Been there. Dan gue beneran kehilangan arah. Bingung mau ngapain. Kalang kabut. Dan akhirnya pasrah jalanin hidup seadanya. Mulai belajar dari nol lagi. Belajar tanpa sokongan. Belajar tanpa kemudahan. Dan memang tidak mudah. Sampai saat ini pun gue belum bisa dibilang mandiri. Dan ketika gue sudah mulai memasuki dunia kerja, gue mulai merasakan yang namanya “nyari duit itu gak mudah”. Dari situ gue mulai belajar bersyukur untuk nikmat yang pernah gue punya.

Awal masuk dunia kerja, udah punya penghasilan sendiri, bukannya memberi ke ortu sebagian dari penghasilan kita, gue malah masih ganggu kenyamanan ortu gue di hari tuanya. Karena beberapa kali memang besak pasak dari pada tiang. Sampai akhirnya mulai mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Sehingga mampu memberi sebagian hasil keringat gue ke ortu. Meskipun ortu gak minta, tapi ada kesenangan sendiri saat gue bisa lihat senyum ortu saat menerimanya. Miss that moment.

Now, semenjak menikah dan gue memutuskan resign dari kerjaan, dan membuat gue bergantung pada suami gue, membuat gue kembali berpikir.  Gue harus cari uang tambahan lagi. Setidaknya agar gue bisa berbagi ke ortu gue kayak dulu lagi. Roda berputar, Rul!


Random thought gue kali ini bener bener nampar gue bolak balik. Sekian. Dan selamat belajar mandiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar