Beberapa hari lalu gue posting
#RandomThought2016 gue di path (yang gue linked ke FB) dan sepertinya
menyinggung beberapa pihak.
“Belajar untuk hidup tanpa
bergantung pada orang lain bukanlah perkara yang mudah. Terutama bagi mereka
yang sejak awal terbiasa dimanja, terbiasa disokong, terbiasa “ada”.
Beda perkara jika ia terbiasa
mandiri, terbiasa melakukan semuanya sendiri, dengan hasil keringatnya sendiri.
Beda perkara. Dan gue ga akan bahas itu.
Anggaplah, seorang anak terbiasa
mendapat sokongan dari orang tuanya. Sebut saja dana dan bantuan lain yang
membuat anak terbiasa merasakan kemudahan tanpa harus bersusah dahulu. Ya,
memang sih, orang tua mana yang ingin melihat anaknya kesusahan? Jawaban
mayoritasnya pasti, tidak ada.
Tapi apa yang salah dengan
sokongan (terutama dana) dari orang tua tersebut bagi sang anak? Yang salah
adalah “terbiasa”. Sang anak terbiasa hidup mudah tanpa bersusah dahulu. Sang
anak terbiasa “diberi” tanpa berusaha. Sang anak tidak terbiasa tanpa sokongan.
Dan bagaimana jika someday, sang pemberi sokongan sudah
tidak mampu lagi memberi? Atau yang terburuknya, yang memberi sokongan sudah
tiada?
Mungkin sebagian besar akan shock, kaget, dan seakan kehilangan arah. Apa yang
harus dilakukan? Bagaimana kelak hidup ini?
Bersyukurlah bagi kalian yang
sudah terbiasa berusaha. Bersusah dalam kemandirian. Terbiasa tanpa sokongan.
Karena roda kehidupan terus berputar.
Kadang berada di atas, kadang di bawah.
Karena setiap yang benyawa pasti
mati, meninggalkan dunia yang fana ini. Meninggalkan keluarga yang dicintai.
Meninggalkan harta yang dimiliki.
Dan, karena hanya kehendak Sang
Pencipta jualah, segala yang kita miliki saat ini masih bisa kita nikmati. Tapi
tak tahu esok, lusa, dan masa depan...
#RandomThought2016”
Beda perkara jika ia terbiasa mandiri, terbiasa melakukan semuanya sendiri, dengan hasil keringatnya sendiri. Beda perkara. Dan gue ga akan bahas itu.
Anggaplah, seorang anak terbiasa mendapat sokongan dari orang tuanya. Sebut saja dana dan bantuan lain yang membuat anak terbiasa merasakan kemudahan tanpa harus bersusah dahulu. Ya, memang sih, orang tua mana yang ingin melihat anaknya kesusahan? Jawaban mayoritasnya pasti, tidak ada.
Tapi apa yang salah dengan sokongan (terutama dana) dari orang tua tersebut bagi sang anak? Yang salah adalah “terbiasa”. Sang anak terbiasa hidup mudah tanpa bersusah dahulu. Sang anak terbiasa “diberi” tanpa berusaha. Sang anak tidak terbiasa tanpa sokongan.
Dan bagaimana jika someday, sang pemberi sokongan sudah tidak mampu lagi memberi? Atau yang terburuknya, yang memberi sokongan sudah tiada?
Mungkin sebagian besar akan shock, kaget, dan seakan kehilangan arah. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana kelak hidup ini?
Bersyukurlah bagi kalian yang sudah terbiasa berusaha. Bersusah dalam kemandirian. Terbiasa tanpa sokongan.
Karena roda kehidupan terus berputar. Kadang berada di atas, kadang di bawah.
Karena setiap yang benyawa pasti mati, meninggalkan dunia yang fana ini. Meninggalkan keluarga yang dicintai. Meninggalkan harta yang dimiliki.
Dan, karena hanya kehendak Sang Pencipta jualah, segala yang kita miliki saat ini masih bisa kita nikmati. Tapi tak tahu esok, lusa, dan masa depan...
#RandomThought2016”
Rangkaian kata di atas seketika
muncul dan menyentil gue bertubi tubi. Mengingatkan gue akan beberapa tahun
silam. Saat gue masih “hobi” menadahkan tangan pada orang tua, dan tante gue
yang saat itu “ada” dan berkecukupan.
Iya, sejak kecil gue memang
terbiasa dimanja. Apa yang gue mau pasti diberi. Segala hal terasa mudah bagi
gue. Hidup dengan bergantung pada orang lain, pernah gue alami. Bahkan, mungkin,
sampai sekarang.
Tamparan keras buat gue saat
kalimat “Dan bagaimana jika someday,
sang pemberi sokongan sudah tidak mampu lagi memberi? Atau yang terburuknya,
yang memberi sokongan sudah tiada?”
Been there. Dan gue beneran kehilangan arah. Bingung mau ngapain.
Kalang kabut. Dan akhirnya pasrah jalanin hidup seadanya. Mulai belajar dari
nol lagi. Belajar tanpa sokongan. Belajar tanpa kemudahan. Dan memang tidak
mudah. Sampai saat ini pun gue belum bisa dibilang mandiri. Dan ketika gue
sudah mulai memasuki dunia kerja, gue mulai merasakan yang namanya “nyari duit
itu gak mudah”. Dari situ gue mulai belajar bersyukur untuk nikmat yang pernah
gue punya.
Awal masuk dunia kerja, udah
punya penghasilan sendiri, bukannya memberi ke ortu sebagian dari penghasilan
kita, gue malah masih ganggu kenyamanan ortu gue di hari tuanya. Karena
beberapa kali memang besak pasak dari pada tiang. Sampai akhirnya mulai
mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan. Sehingga mampu memberi sebagian hasil
keringat gue ke ortu. Meskipun ortu gak minta, tapi ada kesenangan sendiri saat
gue bisa lihat senyum ortu saat menerimanya. Miss that moment.
Now, semenjak menikah dan gue memutuskan resign dari kerjaan, dan
membuat gue bergantung pada suami gue, membuat gue kembali berpikir. Gue harus cari uang tambahan lagi. Setidaknya
agar gue bisa berbagi ke ortu gue kayak dulu lagi. Roda berputar, Rul!
Random thought gue kali ini bener
bener nampar gue bolak balik. Sekian. Dan selamat belajar mandiri!