Rabu, 13 Mei 2015

Just Be Your Self, Ka

Tok… tok… tok…

“Ka, lo udah rapi kan? Ka…..” teriak suara perempuan dari balik pintu.
“Ka, jangan bilang lo masih belom bangun, deh” teriak suara tersebut lagi kali ini diikuti dengan ketukan di pintu yang lebih kencang.

Dika, yang masih meringkuk di dalam selimut tebalnya untuk melawan hawa dingin pagi di hari libur ini, dengan terpaksa menyingkirkan selimut kesayangannya itu dari tubuhnya dan bangkit dari tempat tidur yang pagi itu memiliki daya gravitasi tinggi untuk menghampiri si pembuat keributan.
Dengan langkah gontai Dika menghampiri pintu kayu yang dilapisi cat berwarna tanah kemudian membukakan pintu bagi perempuan yang sepagi buta ini sudah membuat keributan di depan kamarnya.

“Bener, kan yang udah gue duga. Lo masih tidur dan belom rapi” perempuan yang mengenakan kemeja flannel berwarna merah itu mendorong paksa masuk kamar Dika, menghampiri kursi yang berada tak jauh dari meja belajar Dika, kemudian menyerahkan handuk yang ia ambil dari kursi tersebut pada Dika. “Cepetan mandi, gih. Lo kan udah janji mau nemenin gue weekend ini.” Kali ini perempuan berkacamata itu mendorong Dika menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kanan pintu masuk.

***

“Kita mau ke mana, sih, Ren?” Dika heran karena Renata, si-perempuan-pembuat-keributan-pagi-ini, mengajaknya naik kendaraan umum. “Kenapa gak naik mobil gue aja, coba?”
“Kita mau keliling Jakarta naik kendaraan umum. Kalo naik kendaraan pribadi mah gak ada seninya. Kena macet, iya” Rena mencibirkan bibirnya di hadapan Dika.

Meskipun sering dibuat kesal dengan sikap Rena yang seenak udelnya itu, tapi Dika tak pernah menolak permintaan Rena, yang memang hampir selalu ajaib menurutnya. Perempuan-pembuat-keributan-pagi-ini sudah Dika kenal sejak mereka masih menimba ilmu di sekolah dasar. Saat itu Dika merupakan murid baru di sekolah tersebut, dan hanya kursi di sebelah Rena yang kosong. Sehingga guru wali kelasnya mempersilahkan Dika untuk duduk bersebelahan dengan Rena. Dan sejak saat itu hingga siang ini mereka masih terus bersahabat.

“Jadi sebenarnya kita mau ke mana, Rena?” ujar Dika setelah berada dalam commuterline tujuan Jakarta – Kota.
“Kita mau ke Kotu.” Jawab Rena lantang
“Kotu?” Tanya Dika ulang.
“Iya, Kotu. Kota Tua. Jangan bilang lo gak tau Kotu itu di mana deh?” Rena menyipitkan matanya saat menatap Dika. Yang hanya dijawab Dika dengan senyuman datar.
“Emang ada apa aja di Kotu?” Tanya Dika datar.
“Banyak museum di sana, Ka. Ada Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Fatahilah, Museum Wayang, Museum Keramik, dan banyak museum lainnya. Gak akan nyesel deh lo nemenin gue tour the museum hari ini” ujarnya menjelaskan. “Dan nanti kalau sempat, kita juga ke Museum Gajah yang deket Monas, ya”
“Maksudnya kalau sempat?” tanyaku heran.
“Ya, soalnya kan museum itu tutupnya jam tiga, Ka. Makanya gue ngajak lo dari pagi berangkatnya. Biar bisa keliling-keliling museum. Gitu.”

***

“Ka, lo jangan jauh-jauh ya dari gue. Entar kalo lo ilang, bisa berabe gue laporan ke Tante Dian.” Rena mengingatkanku lagi untuk tetap berada di dekatnya setelah sampai di stasiun Kota atau yang lebih dikenal dengan Beos ini.
“Nah, dari stasiun Kota ini kita lewat pintu keluar yang sebelah kiri aja, Ka. Kita startnya dari MBM aja ya, baru ke MBI dan museum lainnya.” Rena memulai tugasnya sebagai pemandu wisata bagi Dika yang memang baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah Kota ini.

Setelah menyeberang melalui penyeberangan bawah tanah, Dika dan Rena memasuki sebuah bangunan tua berwarna putih dengan tulisan Museum Bank Mandiri berwarna perak.

“Ini dulunya gedung milik perusahaan dagang dari Belanda, Ka. Dan sekitar tahun enam puluh delapan, gedung ini beralih jadi kantor pusat Bank Exim.” Rena mulai menjadi pemandu wisata lagi.

Setelah menaiki tangga masuk ke dalam Museum Bank Mandiri ini Dika melihat ruangan yang sangat luas dengan beberapa koleksi yang menggambarkan aktifitas perbankan zaman dulu. Dika terperangah dibuatnya. Terutama saat membalikkan badannya Dika melihat terdapat hiasan ornamen berupa stained glass berwarna warni di dinding atas dekat tangga yang menuju ke lantai atas. Stained glass yang menggambarkan empat musim seperti musim yang dialami di kawasan Eropa. Cantik. Hanya itu yang bisa Dika ucapkan dalam hatinya.  

Sudah selesai mengelilingi Museum Bank Mandiri, dan meilhat koleksi lain yang ada di museum ini, akhirnya Rena mengajaknya ke Museum Bank Indonesia, yang letaknya bersebelahan dengan Museum Bank Mandiri.

“Nah, kalo di sini kita harus menitipkan barang bawaan kita, Ka. Gak boleh dibawa masuk” ujar Rena sambil berjalan menuju tempat penitipan tas. Kemudian mengeluarkan dompet dan gadgetnya untuk dibawa berkeliling.
“Beli tiket masuknya di mana, Ren?” tanya Dika polos. Karena sejak di Museum Bank Mandiri, Dika tidak melihat Rena membeli tiket masuk ke Museum.
“Kalo di MBM sama MBI sih free, Ka. Nanti di museum yang lain baru bayar tiket masuk. Yuk, masuk ke dalem. Lebih banyak sejarahnya di sini.” Rena menarik tangan Dika untuk mengikutinya masuk.

Begitu memasuki ruang koleksi Museum Bank Indonesia ini Dika melihat diorama dan display elektronik juga teknologi modern lainnya yang menggambarkan sejarah perbankan di Indonesia. Baru kali ini Dika menemukan museum yang menarik perhatiannya. Ya, mungkin juga karena Dika hampir tidak pernah berkunjung ke museum, karena Dika memang kurang menyukai sejarah.

“Kalo ruangan itu isinya emas batangan, Ka. Replika, sih. Heheh. Dan ruangan ini berlapis baja super tebal, loh.” Rena menjelaskan lagi.
“Kalo yang itu ruangan apa, Ren?” Dika menunjuk salah satu ruangan yang agak gelap.
“Oh, itu ruangan koleksi mata uang. Ruang Numismatik kalo gak salah. Ada mata uang dari berbagai negara juga kok. Yuk, masuk” Rena mendahului Dika memasuki ruangan yang dindingnya bercahaya itu.


Setelah puas mengelilingi Museum Bank Indonesia, Dika dan Rena mampir sejenak di Café dekat Museum Fatahillah, Café Batavia namanya. Beristirahat sejenak, sambil mengisi perut yang sudah protes minta diisi. Dika menanyakan hal yang memang sejak awal mengganggu pikirannya.

“Lo kenapa tiba-tiba ngajak gue jalan, Ren?” tanya Dika.
“Cuma pengen ngajak lo seneng-seneng, sih. Gak lebih.” Jawab Rena santai sambil menguyah makannya.
“Pasti ada alasan lain, deh.”
“Hehe. Iya, iya. Gue emang gak pernah bisa bohong ya sama lo, Ka. Lo macam cenayang aja, deh.” Rena meletakkan sendoknya di atas piring. Kemudian menatap Dika, lekat.
“Kemarin Tante Dian telepon gue. Tante bilang beberapa hari ini sikap lo aneh terus. Lebih banyak di kamar dan seakan menghindari Tante Dian. Nah, Tante Dian khawatir anaknya kenapa-napa. Gue deh yang jadi tumbal buat ngeluarin elo dari kamar.” Rena kemudian berdiri, dan duduk di kursi kosong di sebelah kiri Dika. “Gue tahu, Ka, alasan lo bersikap kayak gitu. Kalo emang lo gak mau Tante Dian tahu, ya jangan kayak gitu, lah. Malah jadi curiga beliau kalo anaknya kenapa-napa.”
Dika termenung. Mengingat kejadian beberapa hari kemarin yang memang membuatnya seakan tidak ingin bertemu dengan dunia luar selain kamarnya lagi.

“Udah, jangan bengong. Cepetan abisin makanan lo. Kita lanjut ke museum lainnya, yuk. Mumpung masih siang, nih. Nanti keburu tutup.”  Rena menyadarkanku.
“Ren, lo gak jijik temenan sama gue?” Dika bertanya saat perjalanan mereka menuju Museum Fatahillah.

“Jijik kenapa? Karena lo gay?” Rena menoleh memandang Dika. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala. Rena menghembuskan napasnya berat. “Awalnya gue kaget sih, Ka, denger rumor tentang lo itu. Tapi, setelah gue pikir lagi. Itu hak lo, mau memilih jalan hidup seperti apa. Yang penting lo bahagia dengan hidup lo sekarang. Dan masalah keluarga lo, pelan-pelan lah bilang ke mereka. Pasti mereka akan paham. Be your self lah, Ka. Okeh!” Rena menepuk pipi Dika hangat. Sehangat hatinya yang selalu mampu membuat Dika merasa tidak sendirian di dunia ini.

***

words : 1203

Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .