Sabtu, 26 Juli 2014

Pelangi Kala Hujan

Pelangi Kala Hujan
By Nurul Aria / @rulachubby


Lebaran kali ini kamu pulang ke rumah kan, nduk? Jangan lupa kenalin calon kamu ke Ibu, ya.

Pertanyaan Ibu semalam masih terngiang dengan jelas di telinga Nisa. Pembicaraan Ibu dan anak yang terpisah jarak malam itu membuat Nisa tak dapat tidur dengan nyenyak. Nisa mencoba memejamkan kedua matanya. Mengenyahkan semua yang ada di benaknya kini. Rasa takutnya akan sebuah komitmen yang bernama pernikahan itu kembali menghantuinya. Mimpi buruk itu pun datang lagi menghampirinya.

***

Aku janji, aku akan menikahi kamu. Setelah tugas aku selesai.

Ucapan Rasyad yang masih Nisa ingat sebelum ia pergi meninggalkan Nisa, menuju pesawat yang akan membawanya terbang ke Timur Indonesia. Rasyad, lelaki yang sudah lebih dari dua tahun menjalin kasih dengannya. Lelaki yang sangat ia harapkan akan menjadi pendamping hidupnya kelak. 

Aku janji. Aku sayang kamu. Cuma kamu yang aku inginkan untuk jadi pendampingku, ibu dari anak-anakku kelak.

 Nisa masih ingat janji Rasyad setahun lalu. Di Bandara Soekarno – Hatta, saat Nisa mengantar keberangkatan lelaki bertubuh atletis itu untuk bertugas di pulau seberang.

“Hari ini Rasyad akan pulang.” Nisa melihat lagi kalender pada agendanya. Terdapat lingkaran dengan tinta merah pada tanggal 12. Nisa menandainya setelah dapat kabar terakhir dari Rasyad, tiga bulan yang lalu. Sebelum akhirnya komunikasi mereka terputus. Nisa akan menjemputnya hari ini. Menjemput lelaki yang sangat ia rindukan.

Seperti apa rupa kamu sekarang, mas?

Nisa sudah berada di lobby kedatangan Bandara Soekarno – Hatta. Hatinya berbunga-bunga. Rindunya seakan tak tertahankan lagi. Sudah tidak sabar ingin memeluk lelaki terkasihnya tersebut.

Nisa memperhatikan satu persatu penumpang yang keluar. Mencari sosok yang selama ini ia rindukan.

Ah, itu dia, Rasyad. Tidak ada yang berubah darinya.

Nisa tersenyum gembira setelah melihat lelaki yang selama ini ia rindukan sudah terlihat di kejauhan. Tapi senyumnya tak bertahan lama. Lelaki tersebut semakin mendekat ke arahnya. Bersama wanita cantik, yang bergelayut mesra di lengan Rasyad.

Deg! Siapa wanita itu?

“Nisa..” ekspresi kaget pun terpancar dari wajah maskulin Rasyad. Nisa mencoba untuk tersenyum, meskipun ada yang mengganjal di hatinya.
“Kamu… sendiri?” Rasyad kikuk. Nisa mengangguk. Masih dengan senyum yang dipaksakan.

Wanita cantik berkulit putih itu masih menggandeng lengan Rasyad mesra. Nisa risih melihat ada wanita lain bersama lelakinya itu.

Seakan bisa membaca gelagat Nisa, Rasyad mengenalkan wanita berkulit putih tersebut padanya.
“I.. ini Luna, istri ku. Luna, ini Nisa, sahabat aku sejak kecil” Wanita cantik berkulit putih tersebut mengulurkan tangannya kehadapan Nisa.

Wanita cantik ini istrinya? Lalu aku? Sahabatnya sejak kecil?

Pertahanannya runtuh, dua bendungan yang berusaha ia tahan di kedua matanya pun tak dapat ia tahan lagi. Nisa membalikkan tubuhnya, membelakangi Rasyad dan wanita yang ternyata istrinya. Di kedua pipinya sudah terbentuk dua aliran sungai. Nisa berjalan secepat mungkin menjauhi Rasyad dan keramaian di lobby bandara tersebut. Ia tidak memperdulikan orang-orang yang memandangnya aneh. Juga teriakan Rasyad yang memanggil namanya. Ia hanya ingin pergi dari situ, secepatnya.

***

Akhir-akhir ini ia sering melamun. Entah apa yang ia pikirkan.

Aldi masih memandangi perempuan bergaun merah di hadapannya. Ya, ia sangat senang memandangi perempuan yang menjadi rekan kerja satu timnya setahun belakangan ini.

“Kenapa, Di?” perempuan bergaun merah tersebut heran melihat Aldi memandanginya terus. “Ada yang salah sama penampilan gue?” Aldi tersenyum melihat ekspresi keheranan di wajah Nisa.

“Nggak, kok. Nggak ada yang aneh sama lu. Gue cuma heran aja, cewek secantik lu hobinya bengong ternyata. Hehe”

“Sial. hehe” Nisa pun ikut tertawa.

Kamu manis kalau sedang tertawa.  Batin Aldi.

***

“Menikah itu ibadah, Nis. Kalo cuma gara-gara mantan lu itu lu jadi nggak mau nikah, rugi di elu. Dia udah bahagia sama pasangannya. Nggak usah lu pikirin dia lagi. Mendingan sekarang lu pikirin diri lu sendiri, dan Nyokap lu. Berapa umur nyokap lu sekarang? Berapa umur lu sekarang? Come one, Nis! Allah itu nyiptain makhluknya berpasang-pasangan. Jadi, kalo lu nggak mau nikah, orang yang tadinya ditakdirin berjodoh sama lu jadi nggak punya pasangan, dong?” 

Obrolannya saat makan malam dengan Aldi tadi kembali terngiang di benaknya.

“Ada benarnya, sih” Ujar Nisa sambil memandang plafon kamarnya.

***

 Sudah saatnya.
Batin Aldi ketika melihat Nisa sedang duduk terdiam di kubikel kerjanya.

“Belum pulang, neng?” tanya Aldi sambil menepuk pundak Nisa.
“Belum, nih. Males.”
“Bulan depan udah puasa, lu nggak ada niat ngambil cuti terus pulang ke rumah sebelum puasa, gitu?” Aldi menyelidik.
“Nggak. Entar pasti ditanyain calon terus sama nyokap.”
“Yaudah, gue temenin.”
“Maksudnya?” Nisa menatap Aldi bingung.
“Ya.. gue temenin lu pulang, ketemu sama Nyokap lu.” Ujar Aldi santai.
“Buat apaan? Lagian ya, nanti gue juga bakal pulang ke rumah kok pas lebaran.” Jelas Nisa heran.
“Buat… ngelamar lu jadi istri gue.” Ujar Aldi serius. Nisa memandang Aldi heran.
“Gue nggak tau kapan perasaan ini muncul, Nis. Tapi, setiap gue sama lu, gue selalu ngerasa bahagia. Setiap ngeliat lu sedih, ataupun ngeliat lu diem kayak belakangan ini, gue ngerasa kehilangan lu. Kehilangan lu yang selalu ceria, lu yang selalu senyum sama siapa aja. Lu yang selalu jadi diri lu sendiri.”

Nisa bergeming.

“Gue nggak bisa janjiin lu apa-apa, sih. Tapi gue cuma mau buat lu bahagia, Nis. Nggak sedih lagi setiap ditanya kapan nikah sama nyokap lu. Gue… Gue mau nyembuhin luka lu itu, Nis. Luka yang dibuat sama mantan lu, yang membuat lu trauma dengan komitmen dan nggak mau nikah. Gue mau nyembuhin luka lu itu, Nis” Aldi menggenggam tangan Nisa. Mencoba meyakinkan perempuan di hadapannya ini, bahwa ia serius ingin menjadikan Nisa pendamping hidupnya.

Nisa tidak dapat berkata apa-apa. Kedua pipinya sudah basah, kini. Ada perasaan aneh yang menyerang hatinya. Membuat pertahanannya runtuh lagi.

“Nis…” Aldi mencari-cari jawaban di mata Nisa.

“Kalo nyokap gue jantungan, terus anfal karena kaget dengan lamaran lu yang tiba-tiba ini, sebelum Ramadhan pula, lu mau tanggung jawab?” Nisa menatap Aldi sambil tersenyum. Aldi menatap mata Nisa, mencari keseriusan di sana. Nisa mengangguk, kemudian tersenyum dan mengusap air mata yang sejak tadi membasahi pipinya.

Tuhan, terima kasih untuk kejutan kecil menjelang Ramadhan ini. 

***


nb: Ini tulisan gue setahun lalu yang gue ikutsertakan dalam #ProyekMenulis nulisbuku.com yang ternyata masuk dan dicetak di Kejutan Sebelum Ramadhan buku 8. Dan ini iseng gue posting di blog.. :D

Kamis, 10 Juli 2014

Sahabat Terbaik

Sahabat Terbaik  


You say you wander your own land
But when I think about it
I don’t see how you can
You’re aching, you’re breaking
And I can see the pain in your eyes
Says everybody’s changing
And I don’t know why

So little time
Try to understand that I’m
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody’s changing
And I don’t feel the same

(Everybody’s Changing – Keane)

Suara lembut Tom Chaplin, vokalis band Keane, mengalun dari iPod touch kesayangan Fani. Ditatapnya layar smartphonenya dengan sedih. Masih terpampang chat terakhir dengan sahabatnya semasa kuliah dulu.

Tanti: Lo yakin dgn keputusan lo ini Fan?
Tanti: Lo bahkan ga menghargai kita2 yg masih nganggep lbagian dari kita?
Fani: Maafin gue Tan, tapi gue beneran udah ga nyaman lagi
Tanti: Karena lo ga gabung di grup kah?
Tanti: Atau ada kata2  gue yang nyinggung lo Fan?
Fani: I don’t know Tan. I just feel…
Tanti: Gue emang ga tau ada kejadian apa kemaren antara lo sama anak2. Tapi Fan, kita kan temenan udah lama. Kalo emang ada masalah, ya kita bahas bareng2 lah.
Fani: Jujur Tan, gue ga ngerasa dihargain banget. Bukannya gue gila hormat, tapi..
Fani: Gue udah lama ngerasa ga nyaman Tan. Dan gue udah ga sanggup harus pura2 nyaman di hadapan kalian.
Fani: Maafin gue Tan, gue ga bisa berada di tempat yg ga menghargai gue. Bahkan ga anggep gue ada.
Tanti: Ya sudahlah kalo keputusan lo udah bulet. Gue ga bisa maksa. Kan setiap orang pasti berubah Fan. Termasuk kita.
Tanti: Gue cuma bisa bilang, kita sama2 udah dewasa. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah. Selamat jalan kawan.

Dua aliran sungai sudah mengalir membasahi pipi Fani kini. Sedih, sakit, kecewa, kehilangan. Semua rasa itu campur aduk menggeluti Fani yang saat ini hanya terdiam mematung dalam kamarnya. Keputusannya sudah bulat. Fani sudah kecewa dengan sikap teman-temannya.
Dialihkan pandangannya ke monitor laptop empat belas inci yang sedari tadi dibiarkan menyala, terdapat wajah teman-temannya di sana. Foto-foto yang tersimpan rapi dalam file khusus di memori laptopnya. Foto-foto ketika masih kuliah dulu, saat bolos bersama, kemping di Curug, Jambore, Ospek kampus, hingga foto-foto saat praktek kerja lapangan dulu masih ia simpan.     
Dipandanginya satu per satu wajah ke delapan sahabatnya yaitu, Lea, Sari, Tanti, Rina, Riza, Doni, Bram dan Pandu. Ada kerinduan yang dirasakannya saat menatap foto-foto lama itu. Fani rindu canda tawa teman-temannya dulu. Rindu kebersamaan mereka semasa kuliah dulu. Rindu. Ingin rasanya ia kembali lagi ke masa lalu. Masa di mana semuanya belum berubah seperti sekarang.
Ya, Tanti benar. Keane juga benar. Setiap orang pasti berubah. Berubah menjadi orang asing.  Berubah menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Mengejar mimpi-mimpi mereka. Dan sepertinya hanya Fani yang enggak berubah.

Everybody’s changing and I don’t feel the same..

****

“Kenapa murung begitu mukanya?” ujar Selly, Mama Fani, begitu melihat anak gadis satu-satunya itu keluar kamarnya dengan wajah ditekuk.
Fani hanya menggeleng lesu, kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju ruang tamu. Hendak menonton televisi, namun pikirannya tidak tertuju pada layar plasma di hadapannya.
Bu Selly menghampiri anaknya yang bersikap aneh hari itu.
“Kamu kenapa sih, Nak? Sejak tadi mama perhatikan kamu hanya cemberut saja di depan TV. Filmnya yang gak ada yang bagus, ya?” ujar Selly pada anaknya yang masih memasang wajah tak enak itu. Yang ditanya hanya menggeleng pelan dan beberapa saat kemudian wajahnya berubah sedih, seperti hendak menangis.
“Kalau ada masalah cerita sama mama. Mungkin saja mama bisa bantu” Selly memeluk anak kesayangannya itu dengan lembut. 
Dengan segera mengalirlah cerita tentang retaknya hubungan persahabatan Fani dengan teman – teman masa kuliahnya dahulu dari bibir mungil Fani. Selly mendengarkan dengan seksama. Sesekali ia menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi anaknya itu dengan tisu. Bahkan tak jarang Selly merengkuh anak gadisnya itu ke dalam pelukannya. Seakan ingin menguatkan anaknya yang sedang rapuh kini.
….
“Menurut  mama, yang Fani lakukan ini salah nggak sih, Ma?” Tanya Fani masih dengan air mata di pipinya.
Selly tersenyum sambil mengelus kepala Fani yang masih berada di dalam pelukannya itu.
“Kalau mama jadi kamu, mama pasti akan melakukan hal yang sama seperti kamu sekarang. Untuk apa kita berada di tempat yang nggak membuat kita nyaman? Yang ada nanti kita malah ngedumel sendirian, ngeluh terus, jadinya malah nambah dosa, loh.”Selly menjelaskan dengan tenang.
“Sahabat yang baik adalah sahabat yang bisa mengerti kondisi sahabatnya, mau menerima segala kelebihan dan kekurangan yang sahabatnya miliki. Sahabat yang baik itu akan selalu berusaha membuat kita nyaman berada di dekatnya. Dan tidak pernah pamrih saat kita meminta bantuan. Bahkan biasanya, mereka yang akan menawarkan bantuan terlebih dahulu sebelum kita meminta.” Selly menatap anaknya yang masih menangis.
“Apa yang kamu tangisi, Nak?” Tanya Selly sambil menyeka kedua pipi anaknya yang chubby itu.
“Entahlah, Ma.” Bahu Fani terangkat ragu.
“Mama tahu kamu pasti sangat kecewa dengan mereka. Berat memang melepaskan orang–orang yang kita sayang. Tapi, jika itu demi kebaikan mereka dan juga demi kebaikan kita sendiri, ikhlaskan sajalah.” Selly memberi kekuatan pada anaknya dalam nasihatnya.
“Tapi Ma, bukannya memutuskan tali silaturahmi itu hal yang tidak disukai Allah, ya?” Tanya Fani bingung.
Selly menggeleng sambil tersenyum.
“Allah maha mengetahui segalanya, Nak” ujar Selly tenang.“Ada pepatah yang mengatakan, gugur satu tumbuh seribu. Yakinlah, meskipun kamu kehilangan sahabat–sahabat terbaik kamu saat ini…” ditatapnya lagi wajah anak semata wayangnya itu dengan lembut. “ …tapi kamu pasti akan mendapatkan penggantinya yang lebih baik lagi.”
Fani memandang takjub pada Mamanya. Senyum pun perlahan merekah di bibir mungilnya. Ada ketenangan yang menghangatkan hatinya kini. Di peluknya satu–satunya wanita yang telah melahirkannya dan juga menjadi sahabatnya selama ini. Hanya mamanya yang selalu mengerti keadaan Fani.Walaupun kini Fani sudah beranjak dewasa, tapi mamanya tetap menjadi sahabat terbaik bagi Fani.

You’re gone from here
And soon you will disappear
Fading into beautiful light
Cause everybody’s changing
And I don’t feel right

So little time
Try to understand that I’m
Trying to make a move just to stay in the game
I try to stay awake and remember my name
But everybody’s changing
And I don’t feel the same


(Everybody’s Changing – Keane)

****

Ini salah satu FF lama gue, yang gue bikin karena terinspirasi dari lagunya Keane dan ngetiknya sambil nangis. FF ini gue kirim ke NBC Bekasi untuk proyek menulisnya yang bertema "Friendship". Dibukukan dengan judul Long Friendship dan hanya dijual di nulisbuku.com