Senin, 23 Juni 2014

Secret Admirer

Secret Admirer
By: Nurul Aria

Hari ini matahari bersinar dengan teriknya. Tapi, hal itu tidak mampu membuatku mengurungkan niat untuk keluar dari rumah menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Selatan. Hari ini aku ada janji bertemu dengan Tifa di sana. Sudah beberapa bulan ini kami tidak bertemu karena kesibukan masing-masing.
Namanya Latifa Soebagyo, tapi aku lebih senang memanggilnya Tifa, adalah salah satu sahabat terbaikku beberapa tahun belakangan ini. Kami bertemu di acara amal yang diadakan oleh Yayasan Sosial tempat aku magang yang bekerja sama dengan salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Saat itu Tifa menjadi panitia penyelenggaranya dan sejak saat itu, kami berteman akrab.

Getaran dari dalam tasku mengagetkanku yang sedang mengenang pertemuan kami dulu. Kucari sumber getaran yang berasal dari ponselku tersebut, tertera nama Latifa S di layar ponselku.

Yes, darling?” sahutku.
“Ranuwati similikiti, kamu sudah sampai mana??” nada suara riang dari seberang.
“Masih di jalan, Fa.. Sebentar lagi sampai kok. Kamu sudah sampai, ya?” tanyaku.
“Iya nih, aku sudah sampai. Heheh” jawabnya.
“Oke, dear. Sebentar lagi, ya” jawabku meyakinkan.
“Sip, aku tunggu di lobi ya, cantik. See you there..” kemudian ponsel kumatikan dan menaruhnya kembali di dalam tas berwarna biruku.

Tifa merupakan orang yang selalu ceria dalam segala suasana, mudah membaur dengan siapa saja dan dari kalangan manapun. Walaupun menyandang nama besar keluarga Soebagyo, Tifa tidak pernah memandang orang lain dari luarnya saja. Itu yang membuat aku senang bersahabat dengannya. Bahkan Tifa tak segan-segan menceritakan kehidupan pribadinya padaku, yang saat itu baru mengenalnya.

Akhirnya tiba juga aku di mall ini, setelah melewati macetnya Jakarta di siang hari. Begitu masuk lobi mall, kulihat wanita berparas cantik dan ramping menggunakan dress berwarna ungu, berpadu dengan celana jins berwarna gelap sedang berdiri di dekat pintu masuk mall. Tifa memang selalu tampil modis, beda dengan aku yang apa-adanya. 

“Hai Ranuwati similikiti…” sapa Tifa ceria. Tifa memang selalu memanggilku seperti itu. Tifa merupakan salah satu fans beratnya komedian yang juga presenter Tukul Arwana, makanya Tifa memanggilku dengan embel-embel ‘similikiti’ khas Tukul itu.
“Lama ya nunggunya?? Sorry ya, Fa, agak macet tadi” ujarku memohon maaf.
“Nggak kok cantik, aku juga baru datang.” Ujarnya tersenyum. “Terus, mau kemana kita sekarang?” Tanyanya padaku.
“Bebas,” jawabku
“Kamu udah lunch belum? Apa kita cari makan aja dulu ya?”
“Ide bagus” kemudian kami beranjak dari lobby menuju salah satu restoran yang ada di mall tersebut.

Setelah memesan hidangan..
“Ranu, masih ingat nggak dulu aku pernah cerita tentang orang yang aku suka?’ ujarnya tiba-tiba
“Bryant maksud kamu, Fa?” tanyaku ragu
“Haha, iyaa. Kamu masih ingat ternyata” jawabnya
“Kenapa Fa memangnya sama Bryant?” selidikku
“Belum lama ini aku ketemu dia Nu, ya Allah.. tambah ganteng aja deh” ujar Tifa semangat.
“Terus??” selidikku lagi
“Terus.. terus.. nabrak Nu” ledek Tifa.

Kemudian Tifa bercerita tentang Bryant Saputra, seorang pria yang beberapa tahun ini selalu ada di hati dan pikirannya. Awalnya Tifa mengagumi sosok Bryant yang menurutnya sangat keren dan ‘cowok banget’. Bryant yang mandiri, Bryant yang cuek, dan segala hal tentang Bryant menjadi topik perbincangan kami sore itu.

"Kamu beneran cinta sama Bryant??" Tanyaku meyakinkan.
"Aku nggak tahu ini namanya apa, Nu. Yang aku tahu, selalu ada perasaan yang aneh setiap aku ketemu Bryant. Jadi salting gitu, Nu." Ujar Tifa menjelaskan.
"Itu namanya jatuh cinta, Fa.." Ujarku tersenyum. Terlihat semburat merah mewarnai pipinya.

Bagi Tifa, Bryant adalah pria pertama yang ia cintai selain ayahnya. Tifa belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta dan punya pacar.  Dan semakin lama Tifa mengenal anak lelaki satu-satunya di keluarga Saputra itu, Tifa semakin jatuh hati pada Bryant yang terpaut 7 tahun dari usianya yang baru menginjak angka 21 ini.
Dengan semangat, Tifa mengenang kembali saat-saat bisa bersama Bryant, terutama saat Tifa menjadi karyawan magang di Event Organizer milik keluarga Bryant. Sebenarnya Tifa bisa lebih dekat lagi dengan Bryant, karena ayah Tifa bersahabat erat dengan keluarga Bryant. Bahkan, Tifa sangat akrab dengan kakak-kakaknya Bryant.

“Aku minder tauuu..” jawab Tifa, ketika kutanya kenapa belum ada kemajuan antara Tifa dengan Bryant.
“Minder kenapa, Fa? Kamu cantik, supel, terpandang. Cowok normal mana sih yang nggak tertarik sama kamu, Fa?” tanyaku heran. “Jujur ya, Fa, kalau aku jadi cowok, pasti aku pasti naksir kamu.” Ujarku lagi.
“Ah Ranu bisa aja niih” ujar Tifa malu-malu.
“Loh, aku serius Fa. Pasti banyak cewek di luar sana yang iri sama kamu.” Yakinku.
“Habisnya, tipe cewek yang dia suka nggak ada di aku, Nu.” Ujarnya sedih.
“Mas Iyan kan penyuka cewek-cewek secantik Paris Hilton gitu Nu. Kalau di Indonesianya ya seperti Sandra Dewi atau Marsha Timothy gitu deh. Jauh banget kan Nu sama aku” ujarnya menyebut Bryant dengan Mas Iyan, panggilan kesayangan Tifa untuk Bryant.
“Lagian, ayah pernah bilang sama aku, nanti kamu kalau cari pasangan jangan yang seperti Bryant ya, Fa” ujar Tifa menirukan gaya bicara ayahnya.
“Loh, emangnya kenapa sama Bryant, Fa?? Kok Om Randy sampe ngomong begitu?” tanyaku heran.
“Kata ayah sih, Mas Iyan itu nggak pantas lah buat aku. Kamu tahu sendiri ayah sama ibu gimana.” Ujar Tifa sedih. "Kalau menurut kamu gimana, Nu?”
“Hmm.. Gimana ya, Fa, kalau secara agama sih kalian kan beda." Ujarku. "Tapi, kalau di lihat dari tampangnya sih, tampang-tampang players gitu Fa.. hehe” lanjutku lagi.
“Haha.. iya sih. Tapi itu yang bikin aku penasaran sama Bryant, Nu..” ujar Tifa lagi.
“Makanya diungkapin dong Fa, biar nggak makin penasaran” saranku.
“Boro-boro ngungkapin, ngobrol sama dia aja nggak pernah, Nu.” Ujar Tifa polos.
“Hah?? Serius Fa??” tanyaku nggak percaya
“Iya, serius. Bryant tuh selalu bisa bikin aku diam seribu bahasa deh kalau ada di depannya.” Jawab Tifa
“Ya ampun Tifa.. Ja-di selama ini…??” Tanyaku menggantung. Tifa menggangguk meng-iyakan, seakan mengerti maksud pertanyaanku.
“Aku cuma bisa mengagumi Bryant dari jauh, Nu.” Tifa berusaha tersenyum saat mengungkapkannya.
"Sekali-kali kamu harus ngobrol lah sama Mas Iyan-mu itu" ujarku mencoba memberi semangat pada Tifa. "Apa perlu aku temenin??" Tawarku lagi, yang kemudian mendapat tatapan heran Tifa.
"Caranya??" Tanya Tifa heran.
Kemudian kujabarkan rencana yang ku maksud tadi. Tifa mendengarkan dengan seksama dan sesekali mengangguk sambil tersenyum-senyum..
"Aaah, Ranuwati similikiti.. Kamu selalu tahu yang aku mau.. Terimakasih cantiik" Ujar Tifa sambil memelukku..


3 hari setelahnya,

Aku, Tifa dan Nina sahabat kami, sudah berada di dalam mobil Tifa yang sedang meluncur menuju kawasan perumahan Elite di wilayah Jakarta Selatan. Rencananya hari ini kami bertiga mau bertemu dengan Mas Iyan, lebih tepatnya aku dan Nina menemani Tifa yang ingin bertemu pujaan hatinya itu.
Sesuai rencana yang sudah disusun sebelumnya, pura-puranya aku dan Nina sebagai teman kampus Tifa yang ingin mengadakan acara musik, dan ingin menggunakan jasa Event Organizer milik Bryant dan teman-temannya.

"Aaah.. Aku nervous banget nih" ujar Tifa setelah memarkir mobilnya di depan rumah megah berwarna salem, yang merupakan kantor EO 'Project Nine' milik Bryant dan teman-temannya.
"Gimana penampilan aku?? Ada yang aneh ngga??" Tanya Tifa sambil merapihkan rambut dan make-up nya. Aku dan Nina hanya tersenyum melihat kepanikan Tifa ini.
"Udah cantik Fa.." Nina yang berbicara sambil tetap tersenyum.
"Are you sure??"  Kali ini Tifa menatap aku dan Nina bergantian.
"Hahaa.. Atur napas Fa. Nggak usah panik gitu lah." Ujarku menenangkan.
"You look so goergous today. Nggak mungkin lah Bryant nyuekin kamu." Tambahku lagi.
"Haha, semogaa" Tifa berusaha ceria.
"Ready??" Kutatap Tifa yang sedang berusaha menenangkan diri.
"Yuk aah.. Bismillahhirrahmannirrahim" ujar Tifa setelah menarik napas dalam.

Kami bertiga akhirnya keluar dari mobil, dan masuk ke dalam rumah tersebut. Seorang lelaki tampan, berkaus hitam dengan celana cargo selutut, yang ternyata Bryant, menyambut kami dengan ramah, kemudian mempersilahkan kami masuk ke dalam ruangan meeting.
Di dalam ruangan tersebut, juga ada dua orang lelaki temannya Bryant, yang juga pemilik EO 'Project Nine'.
"Om Randy apa kabar, Fa?" Tanya Bryant pada Tifa.
"Alhamdulillah sehat" jawab Tifa terdengar gugup.
Setelah berbasa-basi menanyakan keluarga, kemudian Tifa membuka pembicaraan sesuai rencana awal.
"Gini mas, kita mau tanya-tanya tentang EO." Ujar Tifa. "Rencananya, kampus mau ngadain acara musik dan kerja sama dengan EO. Tapi masih bingung sama konsepnya" lanjut Tifa lagi.

Bryant menjelaskan dengan rinci, mulai dari konsep, budgeting, hingga ke pengisi acara. Aku dan Nina terkadang menanyakan beberapa hal yang kurang kami mengerti. Sesekali Tifa menimpali, namun lebih seringnya diam dan hanya memandangi Bryant yang sedang menjelaskan.

"Memang rencananya kapan mau bikin acaranya?" Tanya Bryant
"Tanggalnya sih memang belum ditentuin Mas, makanya kita mau tanya-tanya dulu. Biar tahu persiapannya berapa lama." Jawabku asal. Karena sebenarnya acara musik itu hanya karangan kami saja.
"Ooh, begitu. Kalau bisa jangan mepet-mepet waktunya. Dan persiapannya juga harus matang." Jelas Bryant lagi.  

Tiba-tiba terdengar lagu dari Cinta Laura yang sedang hits saat itu, "Mana hujan, ngga ada ojek.. Becek.. Becek.. Mana hujan, ngga ada ojek.. Becek.. Becek.."." Dan kemudian Bryant meninggalkan kami sebentar untuk mengangkat telpon masuk di ponselnya tersebut.
Tifa, Nina dan aku hanya saling tatap sambil berusaha menahan tawa. Berbagai macam pikiran berkecamuk di otak kami.

"Sorry, tadi ada telepon. Oh, iya sampai mana tadi??" Ujar Bryant setelah kembali duduk di hadapan kami.
"Butuh persiapan yang matang" kali ini Nina yang bicara.
"Oh iya, kalian harus persiapkan dengan matang semuanya." Ujar Bryant mengulang kembali kata-katanya.”Ada yang mau ditanya lagi?” lanjut Bryant menatap kami bertiga.
“Sepertinya sudah cukup, Mas.” Jawab Tifa. “Nanti kalau sudah pasti, aku langsung hubungi Mas Bryant saja boleh?” ujar Tifa memberanikan diri.
“Ya boleh lah. Ini kartu nama saya.” Bryant memberikan selembar kartu nama berwarna hitam itu.
“Terima kasih banyak ya, Mas, atas waktunya. Maaf kalau kita ngerepotin” ujar Tifa sambil menjabat tangan Bryant. Kemudian kami berpamitan pulang.

Di mobil Tifa, dalam perjalanan pulang, tak henti-hentinya kami membahas pertemuan dengan Bryant tadi. Bahkan sesekali Tifa tertawa lepas ketika mengingat lagu yang menjadi ringtone ponsel Bryant tadi.

Mana hujan, ngga ada ojek.. Becek.. Becek.." Tifa bernyanyi menirukan penyanyi aslinya dengan gaya seperti orang nge-rap, membuat aku dan Nina tak bisa menahan tawa.
“Nggak nyangka ternyata Bryant ituu… hahaha” sahut Nina sambil tertawa.
“Lihat nggak sih tadi, mukanya Bryant tuh agak merah gitu pas ringtonenya bunyi. hahaha” Ujarku tak bisa menahan tawa.
“Iya tuh.. mokal banget tuh pastinya” Nina menambahi.
Tifa tak henti-hentinya tertawa, bahkan sesekali menepuk-nepuk setirnya sangking gelinya.

Ilfil nggak, Fa??” tanya Nina ketika kami sudah mulai bisa tenang.
“Ya nggak lah, Nin. Malah makin cinta sama Mas Iyan” ujar Tifa yakin.
“Hahaha.. dasar Tifa” ujar ku sambil geleng-geleng kepala.
Girls, thank you yaa sudah mau nemenin aku tadi. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu deh gimana jadinya.” Ujar Tifa yang bergantian menatap kami sesaat.
“Sama-sama, Fa. Sudah puas kan tadi ngobrol sama Bryantnya??” tanyaku.
“Puas bangeet Ranuu… Pasti mimpi indah nih nanti malam” ujar Tifa dengan mata menerawang.
“Jadi, PDKTnya mau di lanjutin nih?” ujar Nina tiba-tiba sambil menatap Tifa yang sedang menyetir.
“Entah lah Nin, sepertinya aku sudah hopeless untuk dapetin cintanya Bryant.” Tifa diam sejenak, berkonsentrasi pada kemudi di hadapannya. “Jarak antara aku dan Bryant terlalu jauh soalnya. Banyak perbedaannya.” Lanjut Tifa.
Everything gonna be possible, Fa, kalau kamu yakin dan mau berusaha.” Ujarku mencoba memberikan semangat pada Tifa.
Thanks, Nu. But I think, I just wanna be his secret admirer aja, deh.” ujar Tifa. “Lagian, ada pepatah yang bilang tak selamanya cinta harus memiliki kan, Nu?” tanya Tifa padaku.
“Haha, Iya sih. Mungkin Bryant memang bukan jodoh yang terbaik untuk kamu, Fa. Tapi tenang darling, love will found you, if you try” ujarku menenangkan. 

Ya, tak selamanya cinta harus saling memiliki. Seperti Tifa yang tak pernah bisa memiliki Bryant, lelaki yang sangat di cintainya. Cinta pertamanya.





(cerita ini based on true story, nama dan latar kejadian diubah atas permintaan orang yang bersangkutan tapi tidak ceritanya.)

Nb: Mokal -> malu 

********* 

Ini tulisan lama gue yang gue kirim untuk proyek menulis yang masuk ke dalam buku kompilasi Primer Amor 2 yang dibantu terbit oleh nulisbuku.com dan iseng aja gue posting di blog ini..