Senin, 21 Januari 2013

Untuk Kamu, Apa sih yang Nggak Boleh?


Siang itu Ferdi mengarahkan laju kemudi sedan hitamnya ke wilayah timur Jakarta, tepatnya daerah Rawamangun, dimana terdapat sebuah ruko perkantoran tempat Rani bekerja. Hampir habis kesabaran Ferdi menunggu respon dari Rani yang tak kunjung datang, baik melalui telepon ataupun pesan singkat.

Sehabis meeting dengan klien di daerah Salemba, Ferdi berinisiatif untuk menghampiri Rani di kantornya. Ia yakin akan bertemu dengan Rani siang ini. Rani tidak jarang keluar kantor jika masih dalam jam kerja. Rani tipe wanita workaholic, jabatannya yang lumayan tinggi di perusahaan tersebut membuatnya seperti tidak memiliki waktu luang untuk beristirahat. Seperti itulah Rani yang ia kenal dulu.

Setelah memastikan sedan hitamnya terparkir dengan benar, Ferdi pun melangkahkan kakinya masuk ke salah satu Ruko berlapis cat ungu muda di hadapannya. Resepsionis cantik berambut lurus sebahu yang sudah sangat ia kenal menyapanya dengan hangat. Hampir semua karyawan di kantor ini sudah mengenalnya, terutama resepsionis yang selalu menyapanya dengan hangat dan lembut itu.

Setiap jam pulang kantor, Ferdi selalu menyempatkan diri untuk menjemput Rani ke kantornya, atau sekedar mengajaknya makan siang jika kebetulan habis meeting dengan klien di Kelapa Gading. Meskipun Rani selalu melarangnya, “Nggak usah repot-repot jemput aku, mas” katanya waktu itu. Yang selalu Ferdi jawab dengan “Buat kamu, apa sih yang nggak?” kemudian cubitan kecil mendarat di lengan Ferdi yang kekar, hasil yang ia dapat setelah rajin ngegym selama beberapa bulan. Ia rindu cubitan kecil Rani setiap ia habis berkata gombal dan merayu. Ia rindu wajah malu-malu Rani setiap Ferdi memuji kecantikannya itu.

Hubungannya dengan Rani sudah berjalan selama dua tahun dan beberapa hari lagi mereka akan disatukan dalam ikatan pernikahan. Namun tiba-tiba sikap Rani berubah, semakin menjauh dan tanpa alasan. Keluarga besarnya sudah menanyakan perihal rencana pernikahannya dengan Rani yang tinggal hitungan hari tersebut.

“Tapi, dia selingkuh beb. Gue liat sendiri dia lagi ciuman sama temen kantornya itu” 

Deg!
Langkah kaki Ferdi terhenti, tangannya yang sudah memegang handle pintu pun menegang, kaku. Dirasakannya amarah yang tersirat dalam suara wanita yang berbicara tadi. Suara yang sudah ia hapal betul, suara Rani.

Ra.. rani melihat Sisca menciumku, di kantor?

Seketika tubuhnya kaku. Berbagai macam hal mulai memasuki pikirannya. Sama-samar masih terdengar percakapan dari dalam ruangan di balik pintu kayu dihadapannya. Perbincangan dua orang sahabat, Disya dan Rani. Sesekali terdengar isak tangis dari salah satu wanita di dalam, Rani.

“Lo juga berharap Ferdi dan keluarganya mau nerima keberadaan Nisrina kan, beb?”

Seakan tidak percaya pada pendengarannya  Ferdi menempelkan telinga kirinya ke pintu, “Siapa Nisrina?” hatinya bertanya.

"Please, jujur sama diri lo sendiri beb. Jangan bohongin hati lo lagi.”
“Gue terlalu sayang dia beb. Gue nggak mau kehilangan dia. Tapi gue juga nggak mau kehilangan anak gue lagi beb.”
“Gue takut beb. Gue takut mas Ferdi nggak mau terima keberadaan anak gue dan lebih memilih wanita itu dibanding gue. Gue takut beb.”

“Nisrina? Anak?” ujar Ferdi semakin tidak mengerti dengan pembicaraan didalam.

Tidak dapat menahan lagi rasa keingintahuannya akan apa yang baru saja ia dengar dari balik pintu, Ferdi pun akhirnya memutar handle pintu, mendorongnya hingga terbuka lebar. Dilihatnya kedua wanita yang sedang duduk di sofa berwarna coklat tersebut terkejut melihat kedatangannya.

“Mas Ferdi!”

Dilihatnya tubuh Rani menegang, kaku. Wajahnya menampakkan keterkejutan.

“Kita harus bicara, dek!” Ferdi melirik kearah Disya yang masih duduk di atas sofa, di samping Rani. “Berdua” lanjutnya lagi seakan memberi kode pada Disya untuk meninggalkan mereka.

Disya pun berdiri kemudian melangkah menuju pintu, tempat Ferdi berdiri dan meninggalkan Rani yang terduduk kaku di sofa.

“Kalian selesaikan baik-baik ya, dengan kepala dingin.” Bisik Disya ketika berhadapan dengan Ferdi. Kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu, keluar dari ruangan tersebut. 


Hari ke-8 #13HariNgeblogFF

Cerita sebelumnya : Cintaku Mentok di Kamu

Cintaku Mentok di Kamu


From: Mas Ferdi [0812828xxx]
Km lg knp dek? Tlp aku ga prnh diangkat, sms ga prnh dibls. Aku samperin ke rmh km ga prnh ada. Klo mmg ada masalah, kita bicarakan baik2 ya. Jgn dibiarkan menggantung sprti ini. Hr pernikahan tinggal bbrp hr lagi. Tlg angkat tlpku, atau plg tdk bls smsku ini. –aku yg merindumu-

Sudah berkali-kali ia baca pesan singkat yang di kirim oleh Ferdi, calon suaminya yang beberapa hari lalu ia lihat sedang bercumbu dengan wanita lain di ruangan kantor Ferdi. Dan sepertinya Ferdi memang tidak mengetahui kedatangan Rani tempo hari ke kantornya itu. Karena semenjak hari itu Rani memang tidak pernah berkomunikasi, lebih tepatnya tidak pernah mengangkat panggilan masuk ataupun membalas pesan singkat dari Ferdi. Hatinya masih perih jika mengingat kejadian tempo hari.

Ya, Rani seakan menghindari bertemu dengan Ferdi dan lebih memilih mengunjungi panti asuhan untuk bertemu Nisrina dan beberapa anak lainnya. Ia lebih meyukai menghabiskan waktu sorenya dengan bermain dan bercanda dengan anak-anak tersebut.
***


Disandarkan kepalanya pada sofa di ruang kerjanya yang ia duduki saat ini. Dipejamkan kedua matanya, tangan kanannya memijat keningnya yang sejak tadi berdenyut. Kepalanya pening sejak tadi.   

“Mau sampe kapan lo begini beb? Pernikahan lo tinggal beberapa hari lagi gitu” Disya, sahabatnya yang sejak tadi memperhatikan Rani menjadi khawatir dengan kondisi sahabatnya itu mulai bicara.

“Nggak tau beb, gue juga bingung”

“Kalo emang lo nggak mau nikah sama Ferdi, mendingan lo bilang ke dia dari sekarang deh beb. Jangan lo diemin kyak gini. Pikirin juga keluarga besar lo dan keluarga besar Ferdi.” Disya menghampiri Rani dan kemudian duduk di sofa disamping sahabatnya itu.

“Tapi, dia selingkuh beb. Gue liat sendiri dia lagi ciuman sama temen kantornya itu” Rani membuka kedua matanya, kemudian memandang Disya dengan sedikit emosi.

“Lo yakin Ferdi selingkuh?” selidik Disya. Rani menggelengkan kepalanya.

“Jujur deh beb. Lo sebenernya nggak mau kehilangan Ferdi, karena lo udah terlalu sayang dan percaya sama dia kan beb?” Disya meletakkan kedua tangannya di bahu Rani.

“….”

“Lo juga berharap Ferdi dan keluarganya mau nerima keberadaan Nisrina kan, beb?” Kali ini Disya menatap kedua mata Rani, dalam. Ada kebimbangan disana. Yang di tatap kemudian menundukkan kepalanya, menatap lantai berkarpet tebal sebagai alasnya.

Please, jujur sama diri lo sendiri beb. Jangan bohongin hati lo lagi.” Disya memeluk sahabatnya dengan erat.
Dirasakannya kedua bahu Rani berguncang hebat, isak tangis pun mulai terdengar.

“Gue terlalu sayang dia beb. Gue nggak mau kehilangan dia. Tapi gue juga nggak mau kehilangan anak gue lagi beb.” Air mata Rani sudah tidak terbendung lagi.

Disya masih memeluk Rani dengan erat. Memberikan kekuatan pada sahabatnya yang saat ini sedang sangat rapuh.

“Gue takut beb. Gue takut mas Ferdi nggak mau terima keberadaan anak gue dan lebih memilih wanita itu dibanding gue. Gue takut beb.” Di ungkapkannya hal yang mengganjal hatinya beberapa waktu ini.

Disya masih berusaha menenangkan sahabatnya ketika pintu ruangan kerja Rani dibuka oleh lelaki bertubuh atletis yang sejak tadi mendengar percakapan mereka dari balik pintu tersebut. Rani menegakkan wajahnya, terkejut melihat sosok yang sekarang berdiri beberapa meter di depannya itu.

“Mas Ferdi!”  


Hari ke- 7 #13HariNgeblogFF

Cerita sebelumnya : Balas Kangenku, Dong!

Minggu, 20 Januari 2013

Balas Kangenku, Dong!


“Bunda sayang Nisrina” bisik Rani dalam pelukannya.

Seakan mengerti apa yang Rani ucapkan, gadis kecil dalam pelukannya tersebut memeluk Rani semakin erat. Tak ingin lepas.

Bu Susi menyeka kedua pipinya yang basah oleh air mata. Hatinya tersentuh melihat kedekatan dua perempuan beda generasi di hadapannya kini. Perlahan dan tanpa suara ia membalikkan badannya meninggalkan Rani di kamar bersama Nisrina. Dibiarkannya Rani menikmati kebersamaan dengan Nisrina hanya berdua.

Mereka berdua seperti Ibu dan anak .. ujar bu Susi dalam hati.

Kakinya kini membawanya kembali menuju ruang kerjanya di panti tersebut. Ruang Kepala Yayasan. Begitu yang tertulis di papan ukir yang tergantung di depan pintu masuk ruangan yang tidak terlalu luas itu. Di dalamnya hanya terdapat satu buah meja kerja dengan dua buah kursi lipat yang di letakkan berhadapan, mengapit meja yang diberi alas kain berwarna hijau polos sebagai taplaknya.

Diraihnya sebuah foto berbingkai kayu dengan ukiran sederhana dari atas meja tersebut. Terdapat wajah orang yang paling di sayang dan dirindukannya sejak lama. Anak semata wayang bu Susi yang sejak lima tahun lalu pergi merantau ke negeri orang.

“Apa kabar kamu di sana, nak. Sudah lama ibu tidak mendengar kabar tentangmu.” Terbersit kerinduan yang mendalam di hati wanita paruh baya ini.

Ditatapnya lagi wajah lelaki tampan yang bersamanya di foto tersebut. Foto terakhir yang diambil sebelum anak lelaki satu-satunya tersebut memutuskan untuk pergi berlayar ke negeri orang, mencari pengalaman, katanya dulu.

“Kapan kamu pulang, nak? Ibu sudah sangat rindu canda tawamu itu” bulir air mata kembali membasahi raut wajahnya yang sudah berkeriput di beberapa bagian itu.
***

Untuk kesekian kalinya Ferdi menekan tombol hijau pada ponselnya hingga terdengar nada sambung, menandakan nomor telepon yang ia hubungi masih aktif dan dapat menerima panggilan masuk. Tapi, untuk lagi-lagi Ferdi harus kecewa, karena orang yang ia hubungi tersebut tidak kunjung mengangkat telepon darinya.

Di kirimnya lagi pesan singkat ke nomor yang sama, yang sejak tadi berusaha ia hubungi. Namun tidak kunjung ada balasan juga.

“Kamu kenapa lagi sih dek…” ujar Ferdi setengah frustasi.

Sejak kemarin ia memang tidak berhasil menemui calon istrinya tersebut. Saat pulang kerja, Ferdi tidak menemukan Rani di kantornya. Padahal sebelumnya ada yang ingin Rani bicarakan dengannya, dan mereka sudah berjanji bertemu selepas jam kantor usai.

Di hampiri ke rumahnya pun sama, tidak ia temukan sosok wanita cantik pilihan ibunya tersebut. Di hubungi ke nomor ponselnya tidak pernah diangkat, pesan singkatnya pun tak kunjung dibalas hingga hari ini.

“Pasti ada sesuatu! Karena tidak biasanya Rani bersikap seperti ini.” Ujarnya lirih.

Sekali lagi di ketiknya pesan singkat untuk wanita yang ia sayangi itu.

To: Rani [0811452xxx]
Km lg knp dek? Tlp aku ga prnh diangkat, sms ga prnh dibls. Aku samperin ke rmh km ga prnh ada. Klo mmg ada masalah, kita bicarakan baik2 ya. Jgn dibiarkan menggantung sprti ini. Hr pernikahan tinggal bbrp hr lagi. Tlg angkat tlpku, atau plg tdk bls smsku ini. –aku yg merindumu-

Message sent…

Message delivered…

Setelah meletakkan ponselnya di atas meja nakas di samping tempat tidurnya, Ferdi kemudian merebahkan kepalanya yang mulai terasa berat. Dan perlahan ia mengistirahatkan matanya, tapi tidak pikirannya.



Hari ke-6 #13HariNgeblogFF

Cerita sebelumnya: Sambungan Hati Jarak Jauh

Jumat, 18 Januari 2013

Sambungan Hati Jarak Jauh




“Non Rani dari mana aja, toh?” ujar wanita paruh baya yang membukakan pintu rumahnya. Ada kekhawatiran terpancar dari wajahnya.

“Nggak dari mana-mana kok mbok. Ada apa memangnya?” Rani menatap heran pada Mbok Minah yang telah mengabdi puluhan tahun di keluarganya itu.

“Engg.. anu non.. Sejak tadi pak Ferdi telepon terus nanyain non Rani sudah pulang atau belum. Tadi juga sempat ke sini nyariin non Rani.”

“Oh.. ponsel saya memang mati mbok, jadi memang tidak bisa di hubungi”
“Oh, iya mbok Minah.. Hari ini saya sangat lelah. Saya ingin langsung istirahat saja. Kalau ada yang telepon nyariin saya bilang saja saya sudah tidur ya mbok.” Ujar Rani sebelum memasuki kamarnya.

“Baik, non” Mbok Minah pun berbalik meninggalkan Rani sendirian di kamarnya.

Setelah menutup kembali pintu kamarnya, Rani kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kasur beralaskan seprai dan bed cover berwarna biru langit, warna kesukaannya itu. Sejenak ia coba memejamkan kedua matanya. Terngiang percakapannya dengan bu Susi sore tadi saat ia mengunjungi Panti Asuhan.

“Badannya panas sejak kemarin. Tapi sudah ibu beri obat penurun panas, sekarang dia sedang tidur dikamarnya.” Ujar bu Susi ketika Rani menanyakan dimana Nisrina, karena ia tidak melihat anak tersebut di ruang bermain panti asuhan.
“Sudah di periksa ke dokter bu?” tanya Rani cemas. Yang hanya di jawab dengan gelengan kepala oleh bu Susi. Rani mengerti, memang ada keterbatasan di panti tersebut.
“Kita bawa saja Nisrina ke klinik terdekat sekarang bu” Rani mencoba menawarkan bantuannya.
“Tidak usah nak Rani. Mudah-mudahan panasnya akan turun malam ini.” Bu Susi mencoba menenangkan Rani.
“Tapi bu…”ujar Rani cemas.
“Nanti, kalau memang panasnya tidak turun juga baru kita bawa ke dokter”
***

Rani berdiri dalam ruangan yang semua interiornya berwarna putih. Bau khlorin khas rumah sakit tercium dari hidungnya. Di lihatnya seorang wanita paruh baya yang sudah ia hapal betul bentuk wajahnya.

“Ibu sedang apa di sini?” tanya Rani heran melihat bu Susi terdiam menunduk dan bersandar pada tembok putih koridor rumah sakit itu.

Bu Susi mengangkat wajahnya, kemudian menoleh ke arah kiri dari tempat Rani berdiri. Rani mengikuti arah pandang bu Susi yang ternyata adalah kamar tempat pasien anak-anak dirawat. Entah apa yang membuat Rani melangkahkan kedua kakinya menuju kamar tersebut. Dilihatnya seorang anak bertubuh gempal berbaring di salah satu tempat tidur di dalam kamar itu. Setengah berlari Rani menghampiri anak kecil yang ternyata adalah Nisrina, anaknya.

Matanya terpejam, bibirnya terlihat pucat. Meskipun demikian, bibir pucat tersebut membentuk senyuman. Jemari tangan kanan Rani membelai pipi montoknya. Dingin.

“Sayang, ini Bunda datang. Kamu buka dong matanya” ujar Rani setengah berbisik. Tubuh gempal dihadapannya tidak bereaksi sama sekali.

“Nis..” Rani mencoba mengguncang kedua bahu anaknya itu. Tetap tidak ada reaksi.

Di tatapnya Bu Susi, sudah berada di sampingnya kini. Wanita paruh baya tersebut hanya menggeleng perlahan kemudian menunduk.

“Nggak… Nggak mungkin..” Rani masih berusaha mengguncang kedua bahu Nisrina. Aliran hangat pun mengalir di kedua pipinya. Dan bibirnya pun tak berhenti meneriakkan nama anak perempuan yang belum lama ini dipertemukan kembali dengannya.

“Jangan tinggalin Bunda, sayang.. Maafin bunda… Bunda sayang Nisrina…”
……

***

“Selamat pagi bu Susi” sapa Rani pada wanita yang masih terlihat cantik ini.

“Loh, nak Rani, selamat pagi. Ada apa ini pagi-pagi sudah mengunjungi Panti, tumben.” Senyum khas bu Susi tidak pernah lepas dari wajahnya.

“Hanya ingin melihat keadaan Nisrina bu, apa panasnya sudah turun?” Rani langsung ke tujuan utamanya datang ke Panti pagi itu. Perasaannya tidak tenang setiap mengingat mimpinya semalam. Kemudian rani menceritakan perihal mimpi buruknya semalam pada bu Susi.

“….”

“Saya hanya khawatir dengan keadaan Nisrina, Bu?” ujar Rani menjelaskan.

“Nak Rani sepertinya mempunyai sambungan hati jarak jauh dengan Nisrina. Semacam ikatan batin antara Ibu dengan anaknya.” Ujar bu Susi.
“Memang, suhu tubuh Nisrina mencapai tiga puluh sembilan derajat semalam. Dia juga mengigau, sepertinya memanggil nama nak Rani. Tapi tidak terdengar jelas.” bu Susi kemudian. “Tapi, pagi ini sudah kembali normal kok. Sejak semalam sudah di kompres dan di beri obat penurun panas.” lanjut bu Susi menenangkan Rani.

Dihampirinya gadis kecilnya itu yang masih terbaring di atas tempat tidur. Seakan mengetahui kedatangan Rani, gadis itu membuka matanya kemudian tersenyum bahagia melihat Rani yang langsung memeluknya.

“Bunda sayang Nisrina” bisik Rani dalam pelukannya.


Cerita sebelumnya : Cuti Sakit Hati

Hari ke-5 #13hariNgeblogFF 

Cuti Sakit Hati




Rani terdiam mematung di depan pintu berwarna coklat yang tidak tertutup rapat itu. Di hadapannya kini terlihat adegan seorang wanita yang menggunakan blouse berwarna merah dan rok mini berwarna hitam sedang mencumbu mesra lelaki bertubuh atletis.

Lelaki yang dalam beberapa hari kedepan akan menjadi suaminya. Lelaki yang pernah berjanji tidak akan menyakitinya ataupun melukai perasaannya. Lelaki yang meyakinkannya bahwa masih ada pria yang bersikap gentleman dan bertanggung jawab. Dan sekarang lelaki tersebut sedang bercumbu mesra dengan wanita lain. Sigh!

Tanpa pikir panjang Rani berbalik arah dan berjalan dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin berada di kantor tersebut lebih lama lagi. Dadanya semakin sesak, kedua matanya pun mulai terasa panas.

Sehabis menutup telepon dari Ferdi beberapa jam yang lalu, Rani memutuskan untuk menemui Ferdi di kantornya saja. Rani tidak dapat menunggu lebih lama lagi hingga jam kerja usai. Ia tidak dapat berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Pikirannya selalu di penuhi bayang-bayang Nisrina, anaknya, dan juga reaksi Ferdi saat mengetahui tentang keberadaan Nisrina.

Iya, Rani awalnya ingin memberitahu Ferdi tentang Nisrina, yang mungkin akan mempengaruhi rencana pernikahan mereka yang tinggal hitungan hari ini. Tapi kejadian yang ia lihat barusan sudah cukup membuatnya yakin keputusan apa yang harus ia pilih.

Sakit hati sudah pasti. Di saat ia mencoba mempercayai dan mencintai lelaki itu sepenuhnya, Rani harus menerima kenyataan bahwa Ferdi tidak ada bedanya dengan Sony, mantan kekasihnya yang meninggalkannya dalam keadaan mengandung dulu.

“Ternyata semua lelaki sama” umpat Rani dari balik kemudinya.

Dibenamkan wajahnya diantara kedua lengannya yang menyilang di atas kemudi mobilnya. Rani tidak dapat lagi menahan cairan yang sejak tadi mulai membendung di kedua matanya. Ia menangis hingga kedua bahunya berguncang di dalam Honda Jazz berwarna biru itu.

Sekitar 30 menit ia berada dalam kondisi seperti itu. Pikirannya kacau, pandangannya buram karena air mata yang masih deras mengalir dari kedua matanya. Hati teramat sakit. Luka lamanya kembali terkuak. Semakin perih, seperti luka yang sudah hampir mengering yang disiram alkohol kemudian di iris-iris dengan pisau. Sangat perih.

45 menit….

1 jam…

Rani mulai dapat menguasai dirinya. Di hirupnya udara sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga paru-parunya, kemudian dihempaskannya perlahan-lahan. Hal tersebut dilakukannya berulang-ulang hingga hati dan pikirannya benar-benar tenang. Benar-benar bisa berpikir dengan jernih.

Di raihnya ponsel berwarna putih dari dalam tasnya. Kemudian Rani menekan tombol berwarna merah pada ponselnya. Switch off. Saat ini, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun, terutama Ferdi, lelaki yang ternyata tidak jauh berbeda dengan Sony. Di lemparkannya ponsel berwarna putih itu ke dalam tasnya. Kemudian ia menyeka bekas air mata yang membasahi kedua pipinya dengan tissue. Di hirup kembali udara sebanyak mungkin, kemudian di hempaskannya udara tersebut perlahan-lahan. Di tariknya sudut-sudut bibirnya keatas, mencoba tersenyum.

Setelah memasangkan seatbelt dengan benar, Rani menyalakan mobilnya. Hati dan pikirannya sudah lebih tenang sekarang. Sesaat kemudian Honda Jazz berwarna biru itu pun melaju meninggalkan lahan parkir di gedung perkantoran yang terletak di pusatnya kota Jakarta itu.

***

“Bunda Rani datang…. Bunda Rani datang lagi….” Beberapa anak panti menghampiri Rani sambil berteriak-teriak dengan gembira.   

Rani kemudian berjongkok dan memeluk satu persatu anak-anak yang sebagian besar masih berusia dibawah lima tahun itu.

“Hari ini pinter semua kan?” Tanya Rani pada kerumunan anak kecil tersebut yang dijawab dengan anggukan oleh mereka.

“Karena kalian semuanya pinter-pinter, ini Bunda bawain hadiah untuk kalian” Rani mengangkat kantong plastik berukuran besar yang berisi makanan ringan yang sengaja ia beli sebelumnya, khusus untuk mereka.

“Mau.. mau.. mau..” teriak anak-anak tersebut sambil mengangkat tinggi tangannya. Kemudian mereka semua membentuk barisan yang rapi, seperti biasa, dan satu persatu menghampiri Rani mengambil hadiah yang dimaksud Rani.

“Hayo, bilang apa sama Bunda Rani..” ujar Bu Susi, kepala yayasan di panti tersebut yang sudah berdiri di belakangnya sejak tadi, tanpa ia sadari.

“Terima kasih Bunda Rani…” ujar mereka kompak. Kemudian berlarian menuju ruangan bermain meninggalkan Rani berdua dengan Ibu Susi.

Rani kemudian berdiri sambil tersenyum puas. Ada kebahagiaan tersendiri setiap melihat anak-anak panti tersebut tertawa bahagia. Seperti tidak ada beban. Lepas.

Tidak salah ia mengambil keputusan untuk cuti sejenak dari sakit hatinya terhadap Ferdi, dengan mengunjungi anak-anak panti ini. Salah satu hiburan terbaiknya saat sedih. Berada di sekitar anak-anak yang selalu ceria, tanpa beban.    


Cerita sebelumnya : Orang Ketiga Pertama

Hari ke-4 #13hariNgeblogFF 



Rabu, 16 Januari 2013

Orang Ketiga Pertama


Sore ini langit memancarkan semburat jingganya dengan cantik. Bias sinar dari sang mentari yang perlahan mulai memasuki peraduannya di ufuk barat sana.

Sudah waktunya pulang

Rani memperhatikan dengan seksama anak perempuan berambut lurus sebahu dengan poni menutupi dahinya yang lebar. Pipinya yang seperti bakpau itu, semakin membuat Rani gemas dan ingin mencubitinya. Di belainya rambut halus anak itu dengan lembut. Semakin hari, Rani semakin tidak ingin berpisah dengan anak perempuan berusia empat tahun itu.

Ini sudah kali ketiga Rani mengunjungi panti asuhan ini. Hanya untuk bertemu dengan Nisrina, anak yang pernah ia lahirkan empat tahun yang lalu. Yang dengan terpaksa ia tinggalkan di pinggir jalan. Dan yang dipertemukan kembali di panti asuhan ini. Oleh takdir.

Sejenak ia memeluk lembut gadis kecil di sampingnya ini, mencium keningnya, kemudian membelai lembut kedua pipinya. Dilihatnya lagi sepasang mata mungil yang selalu hadir di mimpinya itu. Di raihnya kedua tangan mungil Nisrina dalam genggamannya. Di dekatkannya kedua tangan itu ke dada Rani kemudian ke dada Nisrina dan kembali ke pipi gadis itu. Hal yang selalu Rani lakukan setiap berpamitan dengan gadis mungil ini. Cara Rani memberitahukan betapa ia sangat menyayangi gadis itu. Dan akan selalu kembali untuk menemui gadisnya itu.

Rani bangkit dari duduknya, dan ia merasakan bagian bawah bajunya di tarik. Dilihatnya tangan mungil Nisrina memegangi erat bagian bawah bajunya itu, wajahnya memancarkan kesedihan. Ah, Rani tak pernah tega jika melihat tatapan sedih anak itu. Di peluknya lagi gadis kecil bertubuh gempal itu. Tak ingin ia lepaskan.

Aku harus ambil keputusan secepatnya. Tapi, bagaimana dengan Ferdi? Dengan pernikahan ku yang tinggal hitungan hari? Apa mereka bisa menerima Nisrina?

Dan berbagai macam pertanyaan lainnya bermunculan satu per satu di benaknya.
*** 

From: Mas Ferdi [0812828xxx]
Dek, jgn lupa ya, hari ini ada pertemuan sama orang WOnya. Km bs dtg kan?

Sudah berkali-kali Rani membaca tulisan yang tertera di layar ponselnya itu, tanpa ada niat untuk membalasnya.

Drrttt… drtttt..

Mas Ferdi calling

Rani menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Memenuhi rongga paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin kemudian dihembuskannya udara tersebt perlahan-lahan melalui mulutnya. Di pijitnya tombol hijau pada layar sentuh ponselnya kemudian di dekatkan ponsel tersebut ke telinga kanannya.

“Kamu sudah baca sms dariku?” ujar suara diseberang, langsung. Tanpa basa-basi.
“Sudah mas. Baru mau bales, eh kamu udah telepon duluan.” 
“Oh, Ya sudah. Nanti kamu bisa datang kan? Aku jemput seperti biasa ya.”
“Umm.. Maaf mas, aku nggak bisa datang nanti sore. Ada urusan.”
“Lebih penting dari urusan pernikahan kita?”
“…….”
“Belakangan ini sikap kamu aneh, dek.”
“…..”
Are you still there, Rani?” ada nada khawatir yang terdengar.
“Umm.. Mas.. kayaknya kita harus bicara deh.”
“Baiklah, nanti aku jemput ya pulang kerja”
*** 

Ferdi meletakkan ponselnya di atas meja kerjanya. Beberapa hari ini ia merasakan sikap Rani semakin aneh. Seperti ada yang di sembunyikan oleh wanita yang ia cintai itu.

Berbagai macam pikiran mulai bermunculan di benaknya.

Apa Rani ingin membatalkan pernikahan ini?
Atau ia memiliki pria lain?
Ah, tapi tidak mungkin.. Rani tipe yang setia.
Atau.. dia sudah tahu?

“Hay sayang.. Kenapa muka kamu kusut begitu?” ujar wanita cantik dengan blouse berwarna merah yang kini sedang berjalan menghampiri Ferdi.

Ferdi mengangkat wajahnya.

“Pintunya tadi terbuka, ya aku masuk saja.” Ujar wanita tersebut yang langsung melingkarkan kedua lengannya di leher kekar Ferdi setelah mereka berhadapan.

“Sisca, ini di kantor.” Ferdi berusaha menurunkan lengan wanita dihadapannya ini dari lehernya. Tetapi Sisca tidak mengendurkan lengannya dan masih melingkar di leher Ferdi.

“Sisca, aku akan menikah dengan Rani minggu depan. Jadi, aku harap kamu mau berhenti bersikap seperti ini lagi.” Sekali lagi Ferdi menepis lengan Sisca dari lehernya, agak kasar.

“Baiklah, meskipun nantinya kamu jadi menikah dengan wanita pilihan ibumu itu. Aku tetap akan selalu ada  dalam rumah tangga kalian”

Sisca mengecup lembut bibir Ferdi, kemudian meninggalkannya yang terdiam mematung.


Hari ke 3 #13HariNgeblogFF
Cerita sebelumnya : Pukul 2 Dini Hari

Senin, 14 Januari 2013

Pukul 2 Dini Hari


“Lo kenapa beb? Kok dari tadi diem aja sih?” Disya heran melihat sahabatnya yang menjadi pendiam sejak mereka meninggalkan Panti Asuhan.

Rani, yang di tanya hanya menggeleng perlahan. Masih dengan wajah murungnya. Pikirannya masih tertinggal di panti tadi. Bayangan Nisrina, anak perempuan berkaos biru itu selalu menari-nari dalam benaknya kini. Kata-kata Bu Susi, Kepala Yayasan di panti tersebut, masih terngiang-ngiang di benak Rani.

“Empat tahun lalu ibu menemukannya di pinggir jalan dalam keranjang bayi. Di dalam keranjang tersebut terdapat surat yang sepertinya ditulis oleh ibu yang melahirkannya. Di sebutkan dalam surat itu anak ini diberi nama Nisrina.”

Rani menyandarkan kepalanya pada jok mobil, perlahan ia memejamkan matanya. Dihirupnya udara melalui hidungnya, sebanyak mungkin memasukkan oksigen ke dalam rongga paru-parunya kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Berulang kali ia lakukan hal itu, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang semrawut saat ini. 

Beb, are you really okay?” Disya semakin khawatir melihat Rani.

Perlahan Rani membuka matanya.

Sudah saatnya Disya tahu.  Ujar Rani dalam hati.

“Beb, mampir di resto depan ya. Gue mau curhat sama lo.” Akhirnya Rani bersuara.

Walau agak heran, tapi Disya kemudian langsung membelokkan kemudi mobilnya menuju restoran cepat saji  yang di maksud Rani. Di dalam restoran dengan interior berwarna lembut dan agak vintage tersebut, Rani dan Disya menempati meja yang kosong agak di dalam.

Setelah memesan makanan dan minuman, Rani masih kembali terdiam.

“Lo kenapa sih beb?” Disya membuka pembicaraan.

Rani menatap Disya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan masa lalunya yang kelam itu. Mimpi-mimpi buruk yang belakangan mulai menghantuinya lagi. Tapi, kepalanya kembali tertunduk dan air mata membasahi pipinya lagi.

“Kalo mau cerita, cerita aja beb. Mudah-mudahan gue bisa bantu masalah lo ini.” Disya menggenggam tangan Rani, berusaha memberi kekuatan pada sahabatnya sejak kuliah dahulu.

Sekuat tenaga Rani mengangkat kembali kepalanya, menatap Disya. Ada ketulusan seorang sahabat disana.

Dan dengan perlahan mengalirlah segala hal yang mengganjal di pikiran Rani belakangan ini. Tentang mimpi buruknya, yang selalu membuatnya terbangun setiap pukul 2 dini hari. Kunjungan mereka ke Panti tadi pagi. Anak perempuan bernama Nisrina. Penjelasan Bu Susi. Semuanya mengalir dengan lancar dari mulut Rani. Sambil sesekali mengusap air mata yang masih terus mengalir membentuk dua aliran sungai di pipinya.

“Nisrina itu anak gue beb. Dia anak yang pernah ada di rahim gue. Anak yang gue lahirin. Yang kemudian gue tinggalin di pinggir jalan. Empat tahun lalu.” Bahu Rani berguncang karena isakannya. Disya memeluk erat sahabatnya itu. Memberikan kekuatan.

“Lo beneran yakin itu anak lo, beb?”  
“Yakin beb! Matanya. Mata mungil yang selalu gue lihat di mimpi gue.”
“Terus sekarang lo mau gimana? Mau adopsi dia?”

Rani menatap Disya dengan bingung. Kemudian menggeleng lesu.

“Lo tahu nggak kenapa gue tinggalin bayi gue di pinggir jalan tengah malem, empat tahun lalu?” ujar Rani. Disya menggeleng, tak mengerti maksud sahabatnya itu.

“Keluarga gue beb.”.... “Mereka nggak mau terima kondisi bayi gue yang..” Rani kembali terisak
“Cacat maksud lo?” Disya menatap tajam pada Rani yang menggangguk lesu.

Terbayang wajah cantik anak perempuan berkaos biru dalam benak Disya. Cantik, siapa saja yang melihatnya pasti menyukainya. Hanya saja, ia tidak dapat berbicara.

“Tapi itu kan empat tahun yang lalu beb.. Mungkin aja keluarga lo udah melunak sekarang. Apalagi anak lo itu cantik dan terlihat seperti anak normal lainnya kan?” Disya masih terus meyakinkan Rani.
“Mungkin.. Memang ada kemungkinan keluarga gue bisa terima anak gue setelah empat tahun.” Rani terdiam sejenak, masih ada yang mengganjal di hatinya.

“Tapi… Apa Ferdi dan keluarganya bisa terima anak gue itu beb?” Rani memandang Disya sedih.

Ferdi, lelaki yang tidak lebih dari satu bulan lagi akan mengikat janji dengan Rani. Lelaki yang mampu meyakinkan Rani bahwa tidak semua lelaki itu tidak bertanggung jawab. Lelaki yang sangat menyayangi Rani.

“Gue nggak yakin beb. Gue nggak yakin Ferdi bisa terima masa lalu gue yang ini” Rani menutup mukanya dengan kedua tangannya. Bahunya kembali berguncang.

“Kalo dia bener-bener sayang sama lo, dia pasti bisa terima semua kelebihan dan kekurangan lo beb.” Disya memeluk erat sahabatnya yang semakin terlihat rapuh itu.

Semoga.  Ujar Rani dalam hati




Cerita sebelumnya : Kenalan Yuk!

Hari ke 2 #13hariNgeblogFF

Minggu, 13 Januari 2013

Kenalan Yuk!


Dinginnya pagi yang disebabkan hujan sejak malam ini membuat Rani ingin tetap berada di balik selimut tebalnya. Rasa malas untuk bangkit dari kasur empuknya pun semakin menjadi setelah tahu bahwa tetesan air masih turun dari langit.

Dilihatnya jam dilayar ponsel kesayangannya itu sudah menunjukkan angka 07.00. Dengan agak malas akhirnya Rani beranjak dari tempat ternyaman di kamarnya itu kemudian bergegas mandi, ia sudah berjanji akan menemani salah satu sahabatnya berkunjung ke salah satu panti asuhan di daerah selatan Jakarta jam delapan nanti.  

***

“Dalam rangka apa lo ngajak gue ke panti beb?” tanya Rani begitu mobil Disya sudah keluar dari kompleks perumahan mereka.

“Dalam rangka mau ngenalin lo sama dunia yang jauh berbeda sama dunia kerja lo yang nggak kenal kata istirahat itu.” ujar Disya tanpa mengalihkan perhatiannya ke jalanan di hadapannya itu.

Disya membelokkan setir mobilnya memasuki sebuah jalan kecil yang lebarnya hanya cukup untuk satu mobil itu dengan perlahan. Di ujung jalan ini terdapat sebuah rumah yang memiliki halaman depan agak luas  dengan pagar besi berwarna biru muda. Tidak ada papan nama yayasan di halaman depan rumah tersebut, sehingga tidak terlihat seperti panti asuhan, melainkan rumah biasa dengan halaman depan agak luas.

Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah tersebut, Disya mengajak Rani ikut turun masuk ke dalam rumah itu. Ada perasaan aneh yang dirasakan Rani ketika matanya menatap ke arah rumah bercat putih di hadapannya itu. Entah apa.

“Ayo beb, masuk. Jangan berdiri aja di situ”

Disya ternyata sudah berada agak jauh dari tempatnya berdiri kini. Di hempaskannya rasa aneh tadi dari pikirannya, kemudian kakinya melangkah menuju Disya yang sudah bersama seorang wanita paruh baya yang terlihat ramah.

“Beb, ini kenalin Bu Susi, kepala yayasan di panti ini”

Rani mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan wanita yang masih terlihat cantik di hadapannya itu.

“Rani” ujarnya berusaha sopan.

“Ayo nak Disya dan nak Rani langsung masuk saja ke dalam, anak-anak baru saja selesai sarapan dan sedang bermain-main di ruang tengah.” Bu Susi sangat ramah dan wajahnya tak pernah lepas dari senyuman.
 
“Kenalan yuk beb sama anak-anak,” Disya langsung menarik Rani masuk menuju ruang tengah yang dimaksud Bu Susi tadi.

Disya dengan mudahnya akrab dengan anak-anak yang sebagian besar berusia balita ini. Mereka semua tertawa gembira, seperti tanpa beban. Ciri khas anak-anak.

Ada satu anak yang menarik perhatian Rani sejak tadi, seorang anak perempuan yang sedang duduk sendirian di salah satu meja kecil tak jauh dari tempatnya berdiri disana.

Tanpa sadar Rani melangkah mendekati anak itu kemudian duduk di sampingnya.

 “Hey, kok sendirian aja di sini? Nggak gabung sama yang lainnya disana?” tanya Rani ramah.
Anak perempuan berkaos biru itu menatap Rani tanpa ekspresi.

Deg! Mata itu. Mata mungilnya mengingatkan Rani akan sesuatu. Yang beberapa malam belakangan ini selalu hadir di mimpinya.

“Namanya Nisrina, ia tuna rungu.” Bu Susi kemudian duduk di hadapan Rani.

“Empat tahun lalu ibu menemukannya di pinggir jalan dalam keranjang bayi. Di dalam keranjang tersebut terdapat surat yang sepertinya ditulis oleh ibu yang melahirkannya. Di sebutkan dalam surat itu anak ini diberi nama Nisrina.” Bu Susi menjelaskan sambil menatap iba pada anak perempuan di samping Rani.

Deg!

Sekelebat bayangan masa lalu terlintas di benak Rani.

Saat ia dinyatakan positif hamil oleh dokter dan Sony, kekasihnya saat itu, yang tidak mau bertanggung jawab kemudian meninggalkannya dengan perut yang semakin lama semakin membesar. Sakitnya saat proses persalinan. Tangisan bayi yang masih merah berlumur darah. Keranjang bayi yang ia letakkan di pinggir jalan saat tengah malam. Empat tahun lalu   

Air matanya berjatuhan membentuk dua aliran sungai di pipinya.

Rani memeluk anak perempuan di sampingnya kini. Anak yang lahir dari rahimnya. Yang ia tinggalkan di pinggir jalan empat tahun lalu.



Hari 1 #13hariNgeblogFF

Selasa, 08 Januari 2013

Welcoming 2013



Heheh..  masih belum telat kan greeting “welcoming 2013” nya?

2013, banyak yang bilang angka 13 ini angka sial. Tapi buat gue, ini salah satu angka keberuntungan. Ah iya,  itu kan suggesti masing-masing orang aja. Hihi.. *okeh that's just an intermezzo*

Gue mau cerita, kegiatan gue di awal tahun 2013 ini.

Seperti biasa, melewati pergantian tahun hanya di rumah, mendengarkan perang petasan dan kembang api dari dalam rumah, menghadap layar monitor, memantau lini masa, dengan kuping yang di sumpel earphone dan memasang volume yang lumayan besar. Mendengarkan lagu-lagu The Moffatts di malam pergantian tahun sambil berusaha menenangkan diri dari kaget yang bertubi-tubi akibat suara ledakan petasan dan kembang api yang menggelegar (Oh Damn! Volume udah hampir maksimum aja masih terdengar juga ke kuping -___- ).

Ah iya, gue emang nggak pernah bisa mendengar suara ledakan petasan atau segala macam bunyi-bunyian yang membuat kaget. Refleks kaget gue masih tinggi. Semacam orang jantungan gitu deh. Untungnya, nggak terlalu lama itu perang petasan dan kembang api di atas rumah gue. Karena, jam 12 lebih dikit gue berusaha untuk tidur agar bisa bangun labih pagi di tanggal 1 Januari 2013 itu.

Kenapa harus bangun pagi? Kan tanggal merah, liburan?

Soalnya gue mau ikut kegiatan #TaunBaruBagi2 yang kumpul di Sevel GI jam 10 pagi, boleh dari jam 8 pagi untuk bantu loading barang-barang. Acara yang di prakarsai oleh Penyiar yang merangkap dokter, kak Diana ( @doctaruby ), dan berkolaborasi dengan komunitas @nebengers juga @BFLAct ini menjadi pilihan gue dalam mengawali tahun 2013.

kakak-kakak BFLAct + @nebengers

@nebengers + mbak Diana 


BFLAct Crew 

Kegiatan simple, tapi bermakna besar banget. Kita cuma ngebagi-bagiin roti dan air mineral yang sudah terkumpul hingga 2500 paket itu ke orang-orang yang kurang beruntung seperti pemulung, tukang sapu jalanan, manusia gerobak, dll.

paket roti+air

Ada rasa tersendiri saat memberikan roti dan air mineral itu ke orang-orang kurang beruntung tersebut. Apalagi yang orang yang menerimanya itu kemudian tersenyum dan berucap syukur sambil mendoakan si pemberi dengan tulus. Nyessss… Haru. Dan serasa di tonjok juga sih gue.




Mereka yang hanya mendapatkan roti dan air aja bersyukurnya sampai begitu banget. Sedangkan gue? Berapa banyak nikmat yang Allah kasih ke gue tapi nggak gue syukuri? Gue yang masih lebih beruntung dari mereka aja masih banyak ngeluh dan gerutu nggak jelas.

Seperti di salah satu ayat di QS : Ar – Rahman yang selalu di ulang-ulang
“Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?” 

Huh…

Awal tahun yang sangat bermakna buat gue secara pribadi. Menjadi satu pembelajaran bagi gue pribadi, mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan untuk kita, apapun itu.

So much thanks for mbak Diana yang sudah mengizinkan gue untuk ikut serta acara #TaunBaruBagi2 dan mempunyai pengalaman yang berharga dalam mengawali tahun 2013. Makasih juga teman-teman baru dari @nebengers yang gokil, dan banci kamera. Hihi… Terutama Sonny dan Reva yang satu tim sama gue dan Oma Finky saat membagi-bagikan paket air+roti itu. Kalian semua hebat!


Oh iya, masih ada satu kegiatan lagi yang mengisi 1 Januari 2013 gue. Yaitu, kumpul bersama sahabat-sahabat tercinta. Keluarga baru gue di BFLAct. Agak sableng sih emang, sehabis charity membagi-bagikan roti dan air mineral ke orang yang kurang beruntung, siangnya kita makan bareng-bareng kemudian lanjut Karaokean rame-rame. Hihihi..





Tapi ini seru. Sekitar 15 orang yang ikut karaokean. Dengan pilihan lagu yang beragam, suara yang acak kadut. Memang sih ada beberapa orang yang bersuara merdu dan renyah, tapi ada juga beberapa yang bersuara pas-pasan cenderung maksa. Hihi.. Salah satunya gue sih. Gue emang paling ancur kalo udah karaokean, apalagi nggak ada air buat minumnya. Heheh.. tapi, seru… Joget-joget pas lagu dangdut yang di persembahkan oleh sang biduannya BFLAct, Torus!

all crew berjoget ria
all crew berjoget ria


Oh well.. That’s my Activity on new year 2013. What about yours?

nb: Pic Welcome 2013, from here
     Pic #TaunBaruBagi2 from BFLAct Group FB