Rabu, 20 Juni 2012

Biru, Jatuh Hati



Debur ombak yang berkejaran…
Panorama pantai pangandaran…
Menikmati indahnya alam…
Semua kebesaran Tuhan…

Camar pun melayang, saling bersahutan
Terbang melayang di balik awan
Sepoi angin pantai, sejuk nan membuai
Indahnya panorama pantai Pangandaran…


Lagu itu… Nisrina mendengarkan dengan seksama lagu yang ia dengar barusan. Ia tolehkan kepalanya, ke kanan – ke kiri, mencari-cari arah lagu itu berasal di antara keramaian penumpang pesawat yang ia naiki.

“Cari apa Nis?” Ujar Anantha heran melihat wanitanya seperti mencari-cari sesuatu.

“Siapa yang putar lagu ini ya da?” Tanya Nisrina masih mencari-cari sumber lagu itu berasal.

“Lagu apa Nis? Uda nggak dengar ada yang putar lagu” ujar Anantha ikut menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Lagu Panorama Pantai Pangandaran, serius Uda indak danga?” Nisrina menatap Anantha serius, yang hanya di jawab anggukan oleh Anantha.

“Aah, mungkin hanya halusinasi Nis saja” Ujar Nisrina pada dirinya sendiri.

“Tidurlah Nis, mungkin kamu terlalu letih sehabis jaga kemudian lanjut jalan-jalan di Braga tadi.” Anantha menepuk pundak kirinya. Nisrina merebahkan kepalanya di pundak Anantha. Kemudian memejamkan kedua matanya.


“Terima kasih bu dokter atas bantuannya selama ini di kampung kami. Kami tidak tahu bagaimana nasib kami jika tidak ada bu dokter dan yang lainnya” ujar seorang warga yang terdapat di tenda pengungsian pada Nisrina dan tim medis lainnya.

Nisrina dan teman-temannya dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang, menjadi tim medis sukarelawan di Pangandaran, salah satu tempat terjadinya gempa dan tsunami  dengan kekuatan 6,8 SR yang terjadi di pesisir selatan Jawa pada bulan Juli 2006.

Selain sebagai tim medis, Nisrina dan beberapa temannya juga menghibur anak-anak korban gempa dan tsunami di tenda pengungsian. Mereka bernyanyi, bercerita dan kegiatan lainnya yang bisa membuat anak-anak gembira.

Kehilangan keluarga juga tempat tinggal pastinya dapat menimbulkan trauma mendalam, apalagi untuk anak usia di bawah 10 tahun. Termasuk Biru, anak lelaki yang belum menemukan satu pun keluarganya di antara korban gempa, baik yang selamat ataupun yang sudah menjadi mayat. Hal tersebut membuat Nisrina iba dan ingin menghiburnya.

“Sedang buat apa kamu dik” Tanya Nisrina setelah duduk di samping bocah berbaju biru itu. Bocah itu hanya melihat Nisrina sekilas, kemudian kembali lagi dengan kesibukannya semula, menggambar.
 
Nisrina tidak menyerah begitu saja, ia terus memperhatikan bocah bernama Biru yang memang selalu mengenakan baju biru itu. Sesekali ia mengomentari gambar yang di buat oleh bocah itu. Hingga akhirnya…

“Ini Bapak, Ibu, dan Gladys” ujar Biru sambil menunjuk ke gambar yang ia buat tadi. “Biru kangen, mau ketemu mereka bu dokter” biru menangis di samping Nisrina yang langsung memeluknya iba.

Nisrina telah jatuh hati pada bocah berusia 9 tahun yang ada dalam pelukannya kini. Sebisa mungkin ia berusaha menghibur Biru, dengan berbagai cara. Biru paling senang saat Nisrina menyanyikan lagu mengenai keindahan Pantai pangandaran. Bahkan ia berusaha menghapalkannya dan ikut bernyanyi bersama Nisrina menghibur teman-temannya di tempat pengungsian.

Camar pun melayang, saling bersahutan
Terbang melayang di balik awan
Sepoi angin pantai, sejuk nan membuai
Indahnya panorama pantai Pangandaran…

“Pantai ini memang indah bu dokter, dulu… sebelum tsunami menghancurkan semuanya.” Biru menatap nanar hamparan laut di hadapannya. Pantai masih di penuhi puing-puing bangunan yang hancur di terjang tsunami.

Nisrina hanya terdiam, tak dapat berkata-kata.

“Tapi lautnya tetap indah ya bu dokter. Biru, jatuh hati pada keindahan laut.” Ujar Biru sambil menunjuk ke tengah laut.


“Nis, bangun Nis. Sudah sampai kita” Anantha menyentuh pipinya lembut. Nisrina mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian menegakkan duduknya.

“Kita dima da?” Tanya Nisrina bingung melihat sekelilingnya.
“Masih di pesawat, baru saja mendarat di Padang” Anantha tersenyum melihat wajah polos Nisrina yang baru bangun dari tidurnya.

“Jadi, tadi Nis hanya mimpi ketemu Biru?” Tanya Nisrina pada dirinya sendiri.

“Biru siapa Nis?” Tanya Anantha heran.

“Birunya pantai Pangandaran da” ujar Nisrina sambil tersenyum. Mengingat-ingat lagi mimpinya bertemu Biru, yang tetap jatuh hati pada laut Pangandaran meski tsunami telah membawa serta keluarganya.

“Bagaimana kabarmu sekarang Biru?” tanya Nisrina lirih.


#15HariNgebloFF2 day 7

*Judul lagu : Panorama Pantai Pangandaran (lagu & syair : Ate Mamat), lagu ini masuk ke dalam 16 lagu terbaik Lomba Cipta Lagu Anak, Februari 1994.

*untuk berita Gempa dan Tsunami Pangandaran bisa di lihat di sini atau yang ini




Selasa, 19 Juni 2012

Sehangat Serabi Solo




Mitha terbangun dari tidurnya karena sinar matahari yang membias di balik tirai jendela menyilaukan matanya. Di lihatnya sekeliling, bukan kamarnya. “Ah iya, semalam kan aku langsung ke Solo” ujarnya seraya bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Selepas mengantar Nisrina dan Anantha, ia memang langsung terbang ke Solo untuk menyendiri sejenak.  

Ditatapnya wajah sembab yang terpantul di cermin. Matanya bengkak akibat menangis semalaman hingga tertidur. Ada sedikit lega yang ia rasakan pagi ini, setelah semalam ia tumpahkan semua kesedihannya, rasa kesal dan kecewanya, di kamar hotel ini.

Setelah mandi dan berpakaian, Mitha berjalan keluar hotel. Tujuannya ke Solo kali ini adalah untuk mengubur dalam-dalam rasa sakit dan kecewa yang ia rasakan kini. Ia ingin menghabiskan waktunya dengan menikmati keindahan kota Solo yang dulu pernah di nikmatinya berdua dengan Anantha.

Napak tilasnya ke kota Solo, di mulai dengan mengunjungi Kraton Kasunanan Surakarta dan berakhir di Pasar Klewer yang terletak di sebelah barat dari Gapura Kraton Kasunanan Surakarta. Selesai melihat-lihat batik di Pasar Klewer yang akhirnya membuatnya tergiur untuk membeli beberapa helai pakaian, Mitha melangkahkan kakinya menuju kedai Serabi Solo yang berada di sekitar Pasar Klewer.

Setelah memesan, Mitha menuju meja dan kursi yang masih kosong. Tercium wangi khas penganan yang terbuat dari campuran santan kelapa dan tepung terigu ini membuat perutnya bergejolak.

“Silahkan di nikmati nduk” ujar seorang Ibu yang mengantarkan pesanannya.

“Terima kasih Mbok” ujar Mitha kemudian tersenyum pada wanita paruh baya di hadapannya.

“Bu dokter Mitha bukan ya?” Tanya wanita di hadapannya ragu.

“Iya Mbok. Mbok masih ingat dengan saya?” Mitha sumringah ternyata masih ada yang mengenalnya di sini, setelah 5 tahun ia tidak pernah lagi berkunjung kemari.

“Ya iyalah, si mbok masih ingat. Dulu kan bu dokter sering mampir ke sini sama pacarnya yang dokter juga itu, siapa toh nduk namanya? Kok si mbok jadi lali yo” ujar si mbok.

“Anantha mbok namanya. Dia itu sahabat saya, bukan pacar saya Mbok” Mitha mencoba tetap tersenyum saat menyebut nama lelaki yang pernah di kasihinya dulu.

Ya, Mitha memang pernah bertemu dengan Anantha saat menjalankan tugasnya sebagai calon dokter (koas) di kota Solo. Ia dan Anantha berada dalam satu kelompok selama menjadi Koas, dan semakin lama mereka semakin dekat. Bahkan teman-teman koas lainnya mengira mereka berpacaran.

Mitha, yang memang menyukai Anantha sejak pertama mereka bertemu di bangsal Rumah Sakit tidak keberatan di beritakan berpacaran dengan Anantha. Bahkan Mitha sempat berpikir Anantha juga menaruh hati padanya. Sampai di hari perpisahan mereka, tepatnya sebelum Anantha pergi menuju kota berikutnya untuk melaksanakan tugas Koasnya, Anantha mengajak Mitha untuk makan di kedai Serabi Solo yang sering mereka datangi itu.

“Neng, ada yang ingin saya bicarakan sama kamu.” Ujar Anantha saat itu.

“Ngomong aja atuh a’, kenapa pake ijin sagala” Ujar Mitha dengan logat Sundanya.

“Sebelumnya, kamu janji ya jangan marah sama saya” Anantha menatapnya dalam. Yang di jawab Mitha dengan anggukan kepala tanda setuju.

“Sebenarnya, saya suka sama kamu sejak di bangsal Rumah Sakit dulu. Makanya saya dekati kamu. Tapi….” Ada binar bahagia di wajah Mitha saat mendengar penjelasan Anantha.

“Tapi kenapa a’” Tanya Mitha agak bingung.

Anantha mengambil nafas dalam, kemudian memegang kedua tangan Mitha. Terasa kehangatan menjalar dari tangan Anantha, seakan memberikan kekuatan padanya untuk tetap tegar. Mitha masih menunggu Anantha melanjutkan ucapannya.

“Tapi… Saya hanya bisa jadi sahabat kamu saja neng, tidak selain itu.” Ujar Anantha lirih.

“Boleh tahu alasannya a?” Tanya Mitha sedih

“Banyak hal neng” Hanya itu yang keluar dari mulut Anantha.

“Perbedaan yang memisahkan kita. Itu kan yang a’ Nantha mau bilang” Mitha tak kuasa lagi menahan air matanya yang sejak tadi membendung di pelupuk matanya. Anantha menunduk diam.

“Nduk, serabinya ndak di makan? Keburu dingin nanti” ujar si Mbok membuyarkan lamunan Mitha akan masa lalunya.

“Eh-iya Mbok,” ujar Mitha gagap.

“Maaf nduk, bukannya si Mbok mau sok tahu” si Mbok menggenggam tangan Mitha, hangat.

“Tapi kalau masalah jodoh, rezeki, maut kan sudah di atur sama Gusti Allah. Jadi kita, sebagai makhluk ciptaannya, harus bisa nrimo semua yang di kasih sama Gusti Allah. Karena itu sudah pasti yang terbaik untuk kita nduk” Air mata kembali membasahi kedua pipi Mitha.

Tatapan hangat si Mbok serta genggamannya semakin terasa hangat di hatinya. Sehangat serabi solo, tidak, lebih hangat dari serabi solo yang mulai dingin di hadapannya kini.


#15HariNgeblogFF2 day 6


*hiks....

Sabtu, 16 Juni 2012

Sepanjang Jalan Braga



Sepulangnya dari Palembang, Nisrina langsung disibukkan dengan jadwal prakteknya yang padat dan juga kesibukannya mengurus pernikahannya dengan Anantha yang tinggal beberapa minggu lagi. Belum lagi jadwal foto prewednya yang akan di lakukan di luar pulau Sumatera.

“Kita foto prewed di Bandung Nis” usul Anantha  beberapa hari yang lalu. “Semuanya sudah Uda siapkan, sabtu kita berangkat.” Lanjut Anantha antusias.

"Sabtu kapan da?" Tanya Nisrina bingung.

"Sabtu kini lah, kamu nggak ada jadwal jaga kan?" Anantha memandangnya serius.

"Sabanta da" (sebentar da) Nisrina mengeluarkan buku agendanya, melihat-lihat jadwal jaganya minggu ini. Sejurus kemudian wajahnya berubah sedih. "Jaga 24 jam da di UGD" ujar Nisrina, kemudian menutup agendanya.  Anantha mengambil buku agenda yg tadi di pegang Nisrina.

"Hmm.." Gumam Anantha saat melihat-lihat Agenda Nisrina. “Nggak ada Liburnya?” Tanya Anantha

"Ya, nggak ada liburnya da, kan kemarin Nis baru ambil cuti 2 hari." Jelas Nisrina.

"Selepas kamu jaga 24 jam saja kita berangkat ke Bandung" ujar Anantha. Nisrina memandang heran pada pria yang sangat di cintainya ini.

***

Bandara Husein Sastranegara siang ini ramai dengan orang-orang yang ingin berlibur. Mata Nisrina berkeliling mencari-cari sosok yang di kenalnya, Anantha sedang membeli makanan di restoran cepat saji yang ada di bandara.

"Hai Nis," teriak sosok perempuan berambut pendek berkacamata sedang berjalan ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangan.

"Mitha" Nisrina pun melambaikan tangan pada perempuan itu.

Mereka saling berpelukan, melepas rindu sambil tertawa bahagia.

"Mana atuh a' Nantha nya?" Tanya Mitha dengan logat sundanya.

"Lagi beli makanan tuh di sana" Nisrina menolehkan kepalanya ke arah restoran cepat saji di belakangnya.

"Teu nyangka yah, akhirnya kalian menikah juga" ujar Mitha sumringah. "Inget teu, dulu gimanah a' Nantha ngejar-ngejar kamuh" ujar Mitha meledeknya, menimbulkan semburat merah di pipinya.

Selesai bersenda gurau, mereka pun menuju mobil Mitha yang yang berada di area parkir bandara.

"Jadi, kalian ke Bandung hanya untuk foto prewed, terus balik lagi ke Padang?" Tanya Mitha dalam perjalanan mereka keluar bandara.

“Kamu tahu sendiri da Nantha, kalau sudah maunya harus selalu di turutin” sahut Nisrina sambil melirik Anantha yang sedang menyetir.

“Hahah. Iyah, kayak sekarang saja maksain nyetir. Mang nggak capek atuh a?” Tanya Mitha pada Anantha yang hanya di jawab dengan senyuman.  

“Jadi kalian mau foto prewed dimanah?” Tanya Mitha lagi.

“Jalan Braga” sahut Anantha dan Nisrina berbarengan.

“Hahaha.. kalian.. jangan-jangan hanya jalan Braga yang kalian tahu yah?” ledek Mitha.

“Lebih tepatnya hanya Jalan Braga yang kami ingat neng. Terlalu banyak kenangan disana.” Kali ini Anantha bersuara.

“Yaiyalah… Sepanjang jalan Baraga, kalian selalu bergandeng tangaaan… Sepanjang jalan Baraga, a’ Nantha peluk Nisrina mesraaa..” Mitha menyanyikan lagu “Sepanjang Jalan Kenangan” yang di ganti menjadi Jalan Braga dan nama Anantha juga Nisrina dengan sedikit pemaksaan.

“Ada-ada saja kamu neng. Eh, tapi kalau bukan karena kamu dulu, mungkin Nisrina nggak akan mau jadi pacar saya neng.” Anantha melirik ke wanita di sampingnya, kemudian melihat Mitha dari spion depan. “Terima kasih ya neng” ujar Anantha.


Sepanjang perjalanan menuju Jalan Braga, mereka bertiga tak habis-habisnya bernostalgia sambil bersenda gurau. Hingga akhirnya, Honda Jazz milik Mitha mendekati Jalan Braga.

“Parkir di mana enaknya neng?” Tanya Nisrina

“Di Braga City Walk saja. Nanti kalian maunya jalan-jalan sepanjang jalan Baragaa kan?” ujar Mitha sambil bersenandung saat menyebutkan ‘sepanjang jalan Baraga’

Anantha dan Nisrina hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.

Setelah memarkir mobil, mereka langsung menyusuri jalan Braga. Anantha selalu siap dengan kameranya, begitu juga dengan Nisrina. Gedung-gedung dengan gaya arsitektur tempo dulu menjadi latar belakang foto-foto mereka, Anantha memotret Nisrina, pun sebaliknya. Bahkan tak jarang Mitha di mintai tolong untuk memotret dua sejoli ini.

Tak hanya Mitha, seniman lukis yang ada di sepanjang jalan ini pun ikut membantu mereka. Saat Nisrina sedang di lukis, Anantha memotretnya beserta seniman yang melukisnya, begitupun yang di lakukan Nisrina ketika Anantha sedang di lukis. Rona bahagia selalu terpancar dari keduanya.

Waktu berjalan dengan cepat tanpa mereka sadari, mentari mulai di gantikan oleh rembulan. Waktunya mereka kembali ke Bandara, mengejar pesawat yang akan membawa mereka kembali ke Padang.

So much big thanks for you my dear. Apa jadinya kami tanpa kamu neng?” Nisrina dan Anantha bergantian memeluk Mitha.

Mitha mencoba tersenyum memandang kedua sahabatnya yang perlahan-lahan menjauh.  Meski ada sedikit perih di hatinya, tapi ia ikut bahagia bisa melihat mereka bahagia.


#15HariNgeblogFF2 day 5....

*semoga bisa semakin seru ceritanya.. amiiin*

Jumat, 15 Juni 2012

Kerudung Merah



Juli 2008,
Selepas PTT di Belitung, Anantha memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Pematang Siantar, Medan. Sejak lahir hingga menginjak usia remaja Anantha tinggal di kota yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun ini bersama kedua orang tuanya. Bahkan hingga kini, Mama dan Papa Anantha masih betah menempati rumah sederhana mereka di wilayah kecamatan Siantar Timur.

“Hendak kemana kau setelah PTT ini bang?” Tanya bu Ros, Mama Anantha, di hari kedua kepulangan Anantha.
“Belum tahu Ma, abang mau liburan dulu saja lah.” Jawab Anantha
“Tak mau kerja di Rumah Sakit kau?” selidik bu Ros. Anantha hanya mengangkat kedua bahunya keatas.
“Ke Danau Toba yuk bang!” Ujar Lani, adiknya, tiba-tiba.
“Ah, ide bagus tuuh. Lah lama abang tak kesana” ujar Anantha antusias.

Saat masih remaja, Anantha sering mengunjungi danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara itu bersama teman-teman sekolahnya. Objek wisata yang terletak sekitar 52 km dari Pematang Siantar ini memiliki keindahan tersendiri, yang tidak dapat di ungkapkan dengan kata-kata.
***

“Masih cantik kan bang?” Tanya Lina setibanya mereka di Danau Toba.
“Semakin cantik” ujar Anantha yang langsung membidikkan lensa kameranya ke hamparan air yang menggenang luas di hadapannya.

Rumah-rumah penduduk, hamparan bukit hijau, pohon kelapa, pinus, memenuhi memori kamera Anantha. Lani yang banci kamera pun tak mau melewatkan momen ini, ikut ambil bagian dari setiap gambar yang tertangkap kamera Anantha.

Di arahkannya lagi lensa panjangnya ke arah lain, terlihat di kejauhan bukit-bukit berbaris dengan gagahnya, Pulau Samosir di tengah danau. Kemudian bidikannya ia arahkan lagi ke tepian danau, beberapa kapal fery berlabuh di dermaga, menunggu wisatawan yang hendak menyebrang ke tengah danau.

Tiba-tiba matanya terpaku pada sosok gadis cilik berkerudung merah diantara para wisatawan di tepi danau. Gadis cilik berkerudung merah itu menawarkan sesuatu kepada pengunjung danau Toba kala itu. Sesuatu yang mengingatkannya pada bidadari yang ia temukan di pulau lengkuas beberapa waktu yang lalu.

“Nisrina” gumam Anantha lirih. 

Kemudian ia berjalan menghampiri gadis kecil berkerudung merah yang tak kenal lelah menawarkan setangkai mawar putih pada pengunjung. Senyuman tetap merekah di wajah gadis berkerudung merah itu, meskipun belum ada satu tangkai mawar yang terjual.

“Mawarnya berapa satu tangkai, dik?” Tanya Anantha setelah berada dekat dengan gadis kecil berkerudung merah itu.

“Lima ribu satu tangkainya kak. Kakak mau beli kah?” Tanya gadis kecil itu.

“Kenapa kamu menjual bunga mawar putih? Bukannya mawar merah?” Lina tiba-tiba bertanya. Anantha refleks menoleh keasal suara tersebut. Ternyata Lina mengikutinya diam-diam.

“Sejak kapan abang suka bunga? Mawar putih pula?” Lina menatap abangnya heran, karena yang ia tahu, abangnya paling anti dengan bunga. Bahkan untuk mengabadikannya dalam gambar dengan kameranya pun Anantha tidak mau.

“Sok tahu kamu.” Anantha mengacak-acak rambut pendek adik kesayangannya itu.

Kemudian pandangannya beralih ke gadis kecil berkerudung merah lagi,

“Nama kamu siapa dik? Dan kenapa kamu berjualan bunga?” selidik Anantha.

“Nama saya Nisrina kak. Saya berjualan bunga untuk membantu orang tua saya yang sedang sakit.” Ucapan gadis kecil berkerudung merah itu membuat Anantha terkejut.

“Dan mawar putih ini…” Nisrina terdiam menatap keranjang berisi puluhan kuntum mawar putih yang di bawanya “…hanya ini yang sedang berkembang di taman rumah.” Lanjutnya lagi.

“Nisrina, nama yang cantik.” Ujar Lina “Kamu yang menanam semua ini?” Tanya Lina menunjuk keranjang yang penuh mawar putih.

Anantha masih terdiam memperhatikan anak kecil di hadapannya ini.

“Ibu yang menanam semua ini kak. Ibu sangat menyukai mawar putih, makanya ibu saya menanamnya di kebun depan rumah. Dan memberi saya nama Nisrina, yang artinya mawar putih” Ujarnya antusias. “Tapi, saat ini ibu sedang sakit, dan ibu  menyuruh saya menjualnya.” Nada bicaranya berubah menjadi sedih.

“Mawar putih itu kan perlambang..”

“Cinta sejati, cinta yang tulus dan suci” Anantha berkata lirih. Terlintas raut wajah bidadari yang sering menghantuinya belakangan ini. Ya, Anantha mencintai bidadari itu.


“Kakak beli semua mawar putih yang kau bawa dik” Anantha mengeluarkan sejumlah uang dari dompet kemudian langsung menyerahkannya pada Nisrina kecil yang menerimanya dengan penuh rasa syukur.

Sambil menyerahkan mawar putih beserta keranjangnya pada Anantha, Nisrina tak henti-hentinya mengucap syukur. “Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan kakak berdua” ujar Nisrina kecil yang kemudian pamit pulang dengan wajah gembira. Kerudung merahnya bergoyang di tiup angin yang berhembus dari arah danau.

“Semoga ibumu lekas sehat ya dik” sahut Anantha.


#15HariNgeblogFF2 day 4


piss aja yaah.. :')
v(^,^)v

*i am really in loveeee* *yeaay*

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja




“Sari, ajaklah Ayu kau ini jalan-jalan.” Ujar Babo Yus pada Sari cucu kesayangannya.
(Ayu: kakak perempuan, bahasa Palembang. Babo: Kakek, bahasa Minang)

“Mumpung masih di Palembang Nis. Pabilo baliak ka Bukittingi?” tanya Babo Yus. (Kapan balik ke Bukittinggi)

“Bisuak Bo.” Jawab Nisrina. (Besok Bo)

“Maaf yo Nis, Babo indak bisa ikut kau kini. Beko lah Babo usahakan bisa hadir di pernikahanmu.” Ucap Babo Yus dengan nada menyesal. (Beko : nanti)

“Ndak ba’a Bo. Jan di paksa. Nisrina lah cukup sanang dapek restu dari Babo” ujar Nisrina. (Nggak apa-apa Bo. Jangan di paksakan. Nisrina sudah cukup senang mendapat restu dari Babo)

Ya, kedatangan Nisrina ke Palembang kali ini untuk menemui dan meminta restu Adik lelaki Alm. Kakek Nisrina yang juga merupakan Datuk di keluarganya. Semenjak Anantha melamarnya di Jam Gadang 2 minggu lalu, yang kemudian di lanjutkan dengan pertemuan kedua keluarga untuk membahas tanggal pernikahan mereka, Amaknya selalu mengingatkan Nisrina untuk menemui Babo Yus di Palembang. Bahkan Amak juga memintanya mengajak Babo Yus serta ke Bukittinggi. Tapi, Babo Yus belum bisa meninggalkan usahanya di Palembang.

***

“Ayolah Yu Nis, alun pernah ka Musi kan?” ajak Sari, adik sepupuku, dengan logat Palembangnya yang kental. Nisrina hanya menjawab dengan gelengan kepala.

“Pernah dengar tentang ‘Venice Of The East’ ndak Yu Nis?” tanya Sari, yang lagi-lagi kujawab dengan gelengan kepala. Sari tersenyum sambil menggelengkan kepalanya “Ckckck, berarti Ayu Nis memang harus ikut Sari ke Musi patang ini” ujarnya sungguh-sungguh. (patang: sore)

Setelah berpamitan dengan Babo dan Nenek, Nisrina dan Sari berangkat menuju sungai yang membelah Provinsi Sumatera Selatan itu. Sepanjang perjalanan, Sari bercerita tentang sungai yang memiliki lebar kurang lebih 300 m dan panjang 750 km itu. Karena lebarnya yang menyerupai lautan luas dan airnya yang tidak pernah kering, mayoritas orang Palembang menyebutnya Laut.

Sari mengajak Nisrina ke sebuah dermaga di Ampera untuk menaiki perahu tradisional yang biasa di sebut Ketek.

“Ini Jembatan Ampera yang terkenal itu ya Sar?” tanya Nisrina, tangannya menunjuk ke Jembatan Megah berwarna merah bata itu.

“Iyo Yu Nis. Jembatan ini di bangun pada tahun 1962 Yu. Panjangnyo kurang lebih 1,177 meter, dan lebarnyo sekitar 22 meter Yu. Jembatan Ampera ini merupakan ikon kota Palembang dan juga yang menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir.” Jelas Sari panjang lebar yang di ikuti decak kagum Nisrina.

Sekitar 5 km dari Ampera, di tepian sungai Musi, terdapat objek wisata bernama Pulau Kemaro, yang di dalamnya terdapat bangunan berbentuk seperti Pagoda yang ada di China. Tak hanya pulau Kemaro, di tepian sungai Musi juga terdapat pelabuhan Boom Batu dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Layaknya seorang tour guide, Sari juga menjelaskan objek wisata lainnya yang terdapat di tepian sungai Musi. Mulai dari Benteng Koto Besak, Monpera, Masjid Agung, River Side, hingga Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi, dan Pasar 16 Ilir yang merupakan Tanah Abangnya Palembang.

“Toko Babo ada di lantai dasarnya Pasar 16 Ilir Yu Nis.” Ujar Sari lagi. Babo Yus memang mempunyai toko kasur lipat Palembang di Pasar 16 ilir. “Belakangan ini memang lagi banyak pesanan ni, makanya Babo belum bisa ikut Ayu Nis ke Padang” ujar Sari lagi.

“Siapin kameranya ya Yu Nis” ujar sari mengingatkan Nisrina.

“Siap-siap untuk apa Sar?” tanya Nisrina heran dengan kata-kata Sari. Karena sejak tadi pun Nisrina tak melewatkan kesempatan dalam mengabadikan keindahan sungai Musi di hadapannya.

Sama halnya dengan Anantha, Nisrina juga menyukai fotografi, karena kesamaan hobi inilah yang mendekatkan mereka. “Ahh. A kabanyo uda di sinan?” lirih Nisrina dalam hati.

“Lihat itu Yu Nis” Sari menunjuk ke arah Jembatan Ampera.

Satu persatu lampu hias yang terdapat di badan jembatan bersinar terang, gemerlap cahayanya memancarkan keindahan, berpadu dengan langit senja yang memunculkan semburat jingganya. Sungguh cantik.

“Ini kah yang kamu bilang ‘Venice Of The East’ tadi Sar?” tanya Nisrina tanpa mengalihkan pandangannya dari keindahan senja.

“Venesia dari Timur.” Ucap Sari. “Diatas perahu, menyusuri sungai Musi, melintas di bawah jembatan Ampera, di hiasi lampu-lampu yang berkilauan. Romantis kan Yu Nis?" Sari menoleh pada kakak sepupunya yang sibuk mengabadikan keindahan tersebut.

"Nggak perlu jauh-jauh ke luar negeri Yu Nis. Di Palembang juga ada tempat romantis seperti di Venesia” lanjut Sari bangga.

Nisrina masih saja berkutat dengan kamera DSLRnya. Seakan takut melewatkan momen indah di hadapannya.

Remember yesterday, walking hand in hand..
Love letters in the sand.. I remember you..

I Remember You - Skid Row terdengar di ponselnya. Tertulis nama UdaNantha di layar sentuh ponselnya itu.

"Assalamualaikum Nis" sahut suara di seberang.

"Wa'alaikum salam da" Jawab Nisrina.

"Sedang apa kamu Nis? Uda ganggu kah?" tanya Anantha

"Indak... Indak ganggu da. Nisrina sedang jalan-jalan ka sungai Musi jo Sari" jawab Nisrina. "Kapan-kapan Uda harus ka siko. Aah, menyesal Uda indak ikut Nis kemarin" ujar Nisrina antusias.

"A nan Uda sesalkan Nis?" tanya Anantha

"Langit jingga di ujung senja... Gemerlap Jembatan Ampera, Venice of The East, banyak Da.." jawab Nisrina antusias.

"Kamu bilang langit jingga Nis?" tanya Anantha lagi.

"Iyo Da, langit di ateh sungai Musi kini berwarna Jingga.." jawab Nisrina lagi.

"Kamu tahu Nis, kini Uda juga sedang melihat ke langit yang berwarna jingga" ujar Anantha senang.

Dua insan yang terpisahkan jarak, memandang kagum pada karya agung ciptaan Tuhan. Langit yang memancarkan semburat jingga di ujung senja hari ini.




#15HariNgeblogFF2 day 3


*aaah... * *no comment*



Rabu, 13 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan



Udara segar menerpa wajah Anantha saat membuka jendela kamarnya pagi ini. Senyum masih merekah di wajahnya, teringat akan kejadian kemarin saat dirinya nekat melamar Nisrina di Jam Gadang.

Angannya pun melayang ke masa 4 tahun yang lalu…

Sudah hampir 1 tahun Anantha menetap di Pulau Belitung, yang belakangan lebih di kenal dengan nama “Negeri Laskar Pelangi” ini. Setelah lulus Koas, Anantha mengikuti PTT (Pegawai Tidak Tetap), yang memang sudah menjadi kewajibannya setelah mendapatkan gelar “dr.” di depan namanya itu untuk mengabdikannya dirinya di pelosok Indonesia.

Anantha di tempatkan di Kabupaten Belitung bersama 4 orang lainnya, Shinta dan Melia adalah dokter gigi sedangkan Anantha, Mitha dan Nisrina merupakan dokter umum. Mereka berlima di tempatkan di puskesmas yang berbeda, kecuali Nisrina dan Shinta yang di tempatkan di puskesmas yang sama.

12 bulan kebersamaan mereka di pulau yang luasnya 11.000km2 membuat mereka sudah seperti sahabat bahkan saudara. Sebelum pulang ke kota asal masing-masing, mereka berlibur bersama ke salah satu pulau yang ada di Provinsi Kep. Bangka-Belitung itu.

“Pulau apa itu namanya Pak?” Tanya Melia pada seorang nelayan yang perahunya kami sewa dari Tanjung Binga tadi.

“Pulau Lengkuas bu dokter” sahut bapak itu sopan.

“Seperti nama bumbu masakan ya pak” celetuk Nisrina yang di ikuti canda tawa dari penumpang yang lainnya.

Perahu yang mereka naiki ini cukup unik bentuknya. Terdapat rangka di kedua sisinya yang membuatnya cukup stabil saat ada ombak besar, dan mampu memuat hingga 30 orang.

Dari kejauhan sudah terlihat jelas sebuah mercusuar berwarna putih yang berdiri dengan gagahnya di salah satu sudut pulau itu, diantara pepohonan dan batu-batuan besar. Di kaki mercusuar itu terhampar pasir putih nan elok, juga air laut yang biru jernih. Melihatnya dari kejauhan saja sudah membuat mereka semua terpana. Anantha tak henti-hentinya mengabadikan karya Tuhan terindah di hadapannya tersebut dengan Nikon DSLRnya.

Setelah menempuh perjalanan laut sekitar 30 menit, akhirnya perahu yang mereka tumpangi menepi di bibir pantai. Rombongan wisatawan lainnya kemudian berpencar ke beberapa penjuru pulau ini. Ada yang naik ke mercusuar, diving, snorkeling atau hanya sekedar mengabadikan gambar dengan kamera.

“Kalian yakin mau menginap di pulau ini?” Tanya Shinta pada Nisrina dan Mitha. Yang di jawab dengan anggukan dari keduanya.

“Tapi di sini kan nggak ada penginapannya?” kali ini Melia yang bertanya.

“Kami sudah izin mau bermalam di rumah itu.” Mitha menunjuk ke arah rumah mungil tak jauh dari mercusuar berdiri.

“Pak Andi, Operator mercusuar itu mengizinkan kami menginap di rumah itu. Tempat tinggal Pak Andi dan operator mercusuar lainnya.” Nisrina menjelaskan.

“Saya temani kalian menginap di sini.” Sahut Anantha tiba-tiba. Yang langsung di pandang heran oleh Mitha dan Nisrina.

“Titip Mitha dan Nisrina ya Bang, jaga baik-baik” pesan Melia dan Shinta pada Anantha.

Selain satu-satunya dokter lelaki yang PTT di Belitung, usia Anantha juga lebih tua 2 tahun dibanding yang lain. Sehingga Shinta, Nisrina, Melia dan Mitha sudah menganggap Anantha seperti Abang mereka sendiri.  

Shinta dan Melia yang tidak ada persiapan untuk menginap, terpaksa harus ikut rombongan pulang ke Pulau Belitung. Hanya Anantha, Nisrina dan Mitha yang tersisa di Pulau yang luasnya kurang dari satu hektar itu.
                                                                         ***

Sebelum fajar, Mitha mengajak Anantha dan Nisrina naik ke atas mercusuar tua yang merupakan mahkota pulau itu.

“Aku ingin melihat matahari terbit dari atas mercusuar” ujar Mitha.

Setelah meminta izin pada Pak Andi, mereka menaiki satu persatu anak tangga yang berjumlah 303 anak tangga yang terdapat di dalam bangunan yang berdiri sejak penjajahan belanda di tahun 1882 dan memiliki tinggi sekitar 80 meter dengan 19 lantai.

Perjuangan yang tidak mudah memang, apalagi untuk orang yang tidak biasa berolahraga. Mitha, yang pada awalnya sangat bersemangat akhirnya menyerah di lantai 12. Tak ingin di temani, Mitha memberi kode pada Nisrina serta Anantha untuk lekas naik ke atas sebelum Matahari terbit. Tanpa pikir panjang, Anatha menarik tangan Nisrina menaiki tangga menuju atap mercusuar.

Dengan napas tersengal-sengal akhirnya mereka sampai juga di atap mercusuar. Fajar menyingsing, bias mentari pagi yang menimbulkan warna kuning keemasan di langit memantul indah di beningnya hamparan air laut.

Nisrina memejamkan kedua matanya, meresapi keindahan pagi ini ke dalam hatinya.

Anantha yang selalu siap dengan kameranya, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikan pemandangan indah di hadapannya.

Seorang bidadari yang hadir di pagi kuning keemasan.


#15HariNgeblogFF2 day 2...

*i'm fallin in love, i think*


Selasa, 12 Juni 2012

Menunggu Lampu Hijau






Jarum pendek yang terdapat di Jam Gadang menunjuk di angka XI sedangkan jarum panjangnya di angka III, “Jam sebelas lewat lima belas menit” ujar Nisrina pelan.

Matanya berkeliling melihat suasana sekitar Jam Gadang siang itu. Belum terlalu ramai, hanya beberapa orang yang yang berlalu-lalang hendak dan dari Pasar Ateh yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri tersebut. Nisrina tidak menemukan sosok yang di carinya, seseorang yang berjanji akan menemuinya di Jam Gadang siang ini.

Di pandanginya langit yang cerah, dengan warna birunya serta beberapa gumpalan awan yang menyerupai kapas sedang melayang dengan ringannya, seakan tak ada beban yang memberatinya. Sangat berbeda dengan dirinya yang kini sedang di rundung masalah,

“Pai ka ma?” (pergi kemana?) tanya Amak lagi setelah Nisrina menjelaskan perihal surat yang diterimanya beberapa hari sebelumnya.

“Ka London mak, di Inggris” jawab Nisrina antusias.

“Ayah indak satuju anak gadih Ayah satu-satunyo pai surang diri, jauah pulo” ujar Ayah lantang. (Ayah tidak setuju anak gadis ayah satu-satunya pergi seorang diri, jauh pula)

“Ayah indak larang kau sekolah tinggi, tapi jan ka ma itu? London? Sia nan jaga kau disinan?” Amak yang menjelaskan. (Ayah tidak larang kau sekolah tinggi, tapi jangan ke mana itu? London? siapa yang jaga kau disana?)

“Nisrina bukan anak kecil lagi mak, lah 27 tahun umur Nisrina kini” ucap Nisrina sedih.

Angin dingin yang menerpa wajahnya, menyadarkan Nisrina dari lamunannya tentang perdebatannya dengan Amak dan Ayahnya semalam. Di tatapnya amplop coklat yang terdapat lambang mahkota di sudut kiri atasnya, dari Queen Mary, University of London. Surat panggilan untuk melakukan pendaftaran ulang yang akan di buka mulai tanggal 23 Juni 2012 – 22 September 2012. Hal yang sudah lama di nantikannya, mengambil gelar Magister kedokteran di bidang Endocrinology and Diabetes PgDip di kota London. Bertahun-tahun ia mencari-cari program beasiswa, berjuang untuk mendapatkannya. Dan kini, saat kesempatan emas itu sudah di tangan, restu orang tua belum ia dapatkan.

Sekali lagi di tatapnya Jam Gadang di hadapannya, jarum panjangnya sudah berada di angka IX. Sudah 30 menit ia berdiri mematung di sini. Orang yang ia tunggu belum juga datang. “Apa dia sibuk lagi?” ujar Nisrina dalam hati.

“Maaf uda talek datangnyo. Ada pasien emergency tadi” (maaf Uda telat datangnya) ujar seorang laki-laki yang baru saja menghampirinya. Dengan peluh di wajahnya dan nafas yang memburu, seakan habis lari marathon. Bahkan dia lupa melepaskan jas putih kebanggaannya itu, dr. Anantha Yudha, nama yang tertulis di papan nama yang tersemat di jas putihnya.

"Ndak ba'a da" Nisrina hanya bisa tersenyum. (nggak apa-apa da)

“Lah lamo menunggu Nis?” ujarnya setelah mampu mengatur nafasnya kembali normal. Yang di jawab dengan gelengan kepala oleh Nisrina (sudah lama menunggu Nis?)

“Minum dulu da” ujar Nisrina yang kemudian tersenyum sambil menyerahkan sebotol air mineral pada lelaki di hadapannya.

Mereka bersandar pada pagar mungil yang mengelilingi Jam Gadang. Sejenak mereka saling terdiam, memandangi orang yang berlalu-lalang. Kemudian Nisrina menyerahkan amplop coklat yang sejak tadi di pegangnya pada Anantha, yang menerimanya dengan ekspresi terkejut. Keningnya berkerut, alis tebalnya saling bertaut saat membaca isi surat tersebut. Setelah selesai pun ekspresinya tidak berubah. Tidak ada kegembiraan yang di harapkan Nisrina yang keluar dari orang yang sangat di sayanginya itu.

“Jadi, ini kabar gembira yang kamu bilang Nis?” Tanya Anantha datar. “Uda senang akhirnya kamu bisa mengejar mimpi kamu Nis” lanjutnya dengan senyum terpaksa, ada kegetiran dalam nada suaranya.

“Uda samo sajo jo Ayah dan Amak.” Ujar Nisrina yang kemudian pergi berlalu meninggalkan Anantha. (Uda sama saja dengan Ayah dan Amak)

Nisrina mengharapkan dukungan dari Anantha untuk menerima beasiswa tersebut. Tapi, sikap Anantha tak jauh berbeda dengan kedua orang tuanya semalam. Air matanya jatuh membentuk aliran sungai di pipinya. Nisrina terus berjalan tanpa menghiraukan padangan orang di sekitarnya, tak di hiraukan juga teriakan Anantha yang memanggil namanya.

“Nis, dengarkan Uda dulu” ujar Anantha setelah berhasil mengejar Nisrina dan menghentikannya.

Nisrina hanya terdiam, menunduk dan terisak. Kecewa, itu yang di rasakannya saat ini. Anantha menyentuh dagunya, kemudian mengangkat wajahnya, menghapus bulir air mata yang masih mengalir di pipinya. Kemudian, mereka duduk di salah satu bangku taman terdekat. Anantha memintanya bercerita tentang maksud ucapannya tadi, dan seberapa besar keinginannya untuk belajar disana.

Masih berlinang air mata, Nisrina menceritakan pertengkarannya semalam dengan kedua orang tuanya.

“Sekarang Uda tahukan kalau Nis sangat menginginkan beasiswa ini? Uda juga tahukan perjuangan Nis untuk mendapatkannya?” pertanyaan Nisrina hanya di jawab anggukan oleh Anantha. “Hanya 16 bulan da, tapi Amak jo Ayah tetap indak memberi lampu hijau” lanjut Nisrina sedih.

Anantha mendengarkan dengan seksama, dan sangat mengerti kekecewaan Nisrina. Setelah menarik napas dalam, Anantha memberanikan diri memegang kedua tangan Nisrina.

“Kita pai ka London, bia Uda yang minta izin ka Amak jo Ayah” ujar Anantha pada gadis di hadapannya. (Kita pergi ke London, biar Uda yang minta izin ke Amak dan Ayah)
“Apo da? Kita?” Nisrina seakan tak percaya dengan pendengarannya barusan.

“Kamu indak perlu menunggu lampu hijau lebih lama, Amak jo Ayah pasti akan memberi izin kalau kita sudah menikah” ujar Anantha meyakinkan. Nisrina memandang Anantha tak percaya.
"Kita menikah bulan depan, setelah itu kita terbang ke London dan mengurus kuliah kamu di sana." Anantha tak melepaskan tatapannya pada gadis yang paling dicintainya itu.
Bulir air mata membasahi pipi Nisrina sekali lagi. Bukan karena sedih, tapi karena terharu. Kini, kedua orangtuanya tak akan menghalangi Nisrina untuk mengejar mimpinya, karena sudah ada Anantha yang akan menjaganya kelak.




*tulisan ini di buat dalam rangka memperingati kembalinya #15HariNgeblogFF2 yeaay...